Sold Out?
Masifnya pertanyaan ‘kapan menikah’ seolah bukan lagi tentang
kebutuhan biologis, tapi keharusan sosial. Bujang lapuk dan perawan tua didapuk
sebagai kelas masyarakat yang lebih rendah daripada yang telah bersanak-keluarga.
Fenomena masyarakat kita yang “nikah-oriented” seperti ini membawa kesan yang
cukup banal. Kebanalannya terletak pada penggunaan frasa jual beli ketika
membicarakan hal-hal yang berhubungan pernikahan. Perawan tua dan bujang lapuk disebut
tidak laku. Gadis cantik yang telah dikhitbah dianggap sudah sold out.
Penggunaan istilah-istilah jual beli—yang kebanyakan disemat
pada perempuan ini tidak hanya merendahkan tetapi juga menista kemanusiaan,
sebab perempuan bukanlah barang antik yang dipajang di pojok-pojok pasar, dan
lelaki pun bukanlah pembeli yang harus lihai dalam tawar-menawar. Penggunaan
istilah jual beli barangkali karena adanya prosesi ijab qabul dan mahar. Akan
tetapi prosesi itu tidak dapat disamakan dengan transaksi jual diri, sebab akad
yang diucapkan bukanlah dengan kalimat ‘kujual anakku kepadamu’, atau ‘kubeli
anakmu dengan mahar…’
Menikah adalah tentang perjanjian yang dilakukan oleh dua
keluarga besar. Menikah juga merupakan perjanjain sehidup semati, bukan
perjanjian jual beli. Allah telah menciptakan makhluk satu paket dengan pasangannya
masing-masing (QS. Yasin: 63). Sementara itu, pasangan kita adalah cerminan
diri kita (QS. An-Nur: 26). Dalam Quran tidak kita dapati frasa-frasa yang
menunjukan bahwa akad pernikahan bersinonim dengan membeli barang, sebab kadar
kemuliaannya tidak dapat disandingkan dengan akad membeli korek api.
Untuk itu perlu bagi kita untuk menghapus atau paling tidak
mengurangi penggunaan istilah-istilah jual beli untuk menghukumi perawan tua
dan bujang lapuk atau gadis yang telah dikhitbah, sebab selain menghina
kemanusiaan juga memberi noda hitam pada kemuliaan pernikahan.
Btw, kamu sudah sold out belum, ukhti?
Post a Comment