Hermeneutika untuk Hoax



Salah satu kekurangan dunia teks dari bahasa verbal adalah tidak adanya intonasi dan jeda. Kita sebagai pembaca teks hanya dapat menimbang intonasi dan jeda apa yang dikeluarkan dari teks tersebut. Inilah yang menyebabkan mengapa teks dari suatu berita menjadi ambigu karena menimbulkan multitafsir yang cukup parah. Para pembuat hoax tentu sangat tahu betul celah ini, mereka mengutip satu berita yang mungkin kalau diungkapkan secara verbal biasa saja, namun dituliskan dalam teks menjadi terkesan sangar, meledak-ledak, dan tegas, atau bisa jadi sebaliknya.

Misal kalimat “Menurut pemeriksaan dokter Setya Novanto memang sakit”. Kalau kita menebak-nebak intonasi yang digunakan, maka akan ada tiga tafsir: kalimat tersebut bisa berupa berita, tanya, atau penegasan. Selain itu, kalau kita menebak-nebak jeda yang digunakan, maka akan ada tiga tafsir pula tentang siapa sebenarnya yang sakit: Bisa Dokter Setya Novanto yang sakit, atau Novanto, atau justru Setya Novantonya yang sakit. Multitafsir. Biasanya saluran hoax salah satunya masuk dari pintu ini.

Problem solving dalam menanggulangi kekurangan ini, para ahli bahasa membuat seperangkat metode tanda baca untuk menandakan suatu intonasi dan jeda tertentu. Bisa dengan titik (.), koma (,), tanda seru (!), tanda tanya (?), dan lain-lain. Namun semua perangkat itu menurut saya masih kurang, sebab hoax masih berjalan. Teks berita yang umumnya bersifat mutasyabihat, harus ada seperangkat metode kritik teks yang mempuni dan kokoh, bisa dengan metode kritik matan dalam hadist, atau mungkin bisa juga dengan teknik hermeneutika.

Karena itu hermeneutika sebetulnya tidak penting digunakan untuk menggali makna al-Quran yang di dalamnya tidak ada 1% hoax-pun, justru teknik-teknik yang ada dalam hermeneutika wajib digunakan untuk membaca portal online seperti Kompas, Detik, Tribunnews, Republika, dan lain-lain yang di dalamnya masih mengandung unsur-unsur keberpihakan. Zaman sekarang ada kecenderungan kritis dalam membaca teks al-Quran, tetapi kadang sangat tekstualis dalam membaca berita hoax.

Karena itulah, walaupun hermeneutika sesungguhnya dipakai untuk membaca teks masa lampau karena kontak pembaca dan pengarang memiliki rentang waktu yang sangat panjang, akan tetapi poin-poin dasar dari metode penafsiran kontemporer ini dapat digunakan untuk membaca teks berita. Dengan demikian, salah satu solusi dari bias intonasi dan jeda dalam suatu teks berita, metode kritik teks seperti hermeneutika tadi dapat digunakan agar hoax semakin tidak memiliki tempat di benak bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian.

No comments