Piala Dunia di Musim Pilkada

Tahun 2018 merupakan musim pemilihan ketua daerah, tapi
bersamaan dengan itu, publik internasional juga merayakannya sebagai tahun sepakbola.
Dua momen yang pasti dirayakan oleh manusia dengan jumlah besar tentu saja
memberikan berkahnya tersendiri. Di tahun politik yang penuh dengan urat-urat
tegang seperti ini memang perlu dikendorkan sedikit dengan bahasan yang dapat
melintasi batas-batas ideologis. Bahasan tersebut ada pada Piala Dunia.
Dengan adanya Piala Dunia, suasana politik yang diprediksi
akan membikin urat saraf menegang ternyata dapat diminimalisir. Timeline terlihat
akur selama yang dibahas tentang kekalahan dan kemenangan tim sepakbola.
Apalagi ketika tim petahana dengan jumlah pendukung yang banyak dikalahkan oleh
tim kecil yang hanya didukung karena ada hubungan psikis dengan oppa-oppa,
timeline seolah berubah menjadi panggung lawak. Sebab sakit hati pun pun bukan sakit
hati yang “ideologis”.
Hal tersebut sangat berbeda ketika yang dibahas tentang
kemenangan dan kekalahan paslon pilihan. Timeline seolah menjadi arena perang
yang saling sikut memberikan dukungan total pada paslon pilihannya. Mungkin, kalau
kita mau tahun pilkada seindah dan selucu bahasan piala dunia, kita harus memandang
Pilkada bukan dengan kacamata ideologis, tapi hanya sebatas permainan yang bisa
menang, bisa kalah.
Yah walaupun Pilkada maupun Piala Dunia berada dalam bab yang
berbeda. Kekalahan tim favorit di piala dunia tidak akan berdampak banyak masa
depan, sedang kemenangan di pilkada tentu saja akan berdampak di kemudian hari.
Tapi tidak ada salahnya bila sesekali kita menegok ke sebuah kesadaran baru
bahwa sebetulnya pilkada tidak lebih dari sekedar permainan dari para elit
partai. Kamu, hanyalah cebong dan kampret yang disetir oleh mereka.
Post a Comment