Prosesi Wisuda itu Konsep yang Aneh



Selalu sinis ketika melihat orang-orang berjejer rapi mengenakan pakaian yang kalau dilihat sekilas mirip fashion Jin Ifrit dari Timur Tengah. Pakaian ini secara kasat samasekali tidak modis untuk dipakai. Samasekali tidak keren. Toga terlampau akademis sehingga kesan formal dan hal-hal yang membosankan tidak bisa dihilangkan. Namun anehnya setiap denyut jantung mahasiswa ingin sekali memakai pakaian yang samasekali tidak fashionable untuk dipakai seharian di jalanan ini.

Perlu antum-antum sekalian ketahui bahwasannya toga bukanlah bagian dari tradisi keislaman, toga juga bukan bagian dari warisan nusantara. Toga merupakan pakaian yang sering dikenakan oleh bangsa Romawi, tepatnya oleh pribumi Italiano. Dulunya penggunaannya juga cukup praktis yaitu sebatas kain enam meter kemudian dililitkan ke tubuh. Tapi sekarang untuk memakai kain itu mesti melewati terjalnya jalur akademik yang dapat membuat rambut rontok macam tak pernah memakai Shampoo Pantine (si shampoo-anti-ketombe-nomer-satu-di-Indonesia itu).

Lebih dari itu, filosofi pakaian dan topi toga seperti mengada-ngada dan cenderung dipaksakan. Menurut beberapa sumber yang saling copas, warna hitam gelap yang terdapat dalam toga menyimbolkan keberhasilan mahasiswa melewati gelapnya kebahlulan. Lebih dari itu katanya, orang-orang yang berhasil memakai toga diharapkan mampu menyibak kegelapan dengan ilmu pengetahuan yang selama ini didapat di bangku perkuliahan. Ciih.

Selain itu, topi toga yang berbentuk persegi, katanya, melambangkan tuntutan seorang sarjana untuk berpikir rasional serta memandang segala sesuatu hal dari beraneka ruang dan sudut pandang. Lebih absurd lagi katanya, seremoni kuncir tali di topi toga dipindah dari kiri ke kanan menyiratkan agar dominasi otak kiri selama menjadi mahasiswa diimbangi dengan otak kanan setelah jadi sarjana.

Benar-benar filosofi yang mengada-ngada. Tapi anehnya, mahasiswa ingin sekali mengenakannya. Padahal jika mau jujur-jujuran, ada banyak pakaian di dunia yang lebih berfilosofi tinggi (tentunya tidak dipaksakan seperti toga) daripada pakaian prosesi wisuda. Anda boleh melirik pakaian bermotif Palu-arit yang menyimbolkan kepedulian terhadap buruh dan petani. Atau pakaian dengan symbol-simbol satanic yang kerap menghiasi panggung hardcore. Pentagram, Baphomet, Lucifer, Eye of Horus dan lain-lain, menurut saya, lebih memiliki filosofi yang mendalam daripada sekedar bentuk persegi pada topi toga.

Lagi pula, jika persegi pada topi toga menyimbolkan rasionalitas dan mau menggunakan pandangan yang berbeda, sungguh tidak masuk di akal. Sebab hingga hari ini masih banyak sarjana yang sulit untuk diajak berpikir rasional. Coba tengok berapa lendir sarjana yang percaya dengan Kanjeng Dimas. Berapa jumlah sarjana yang percaya dengan kemampuan sakti mandra guna para habib-tabib. Berapa elektabilitas Ahok di Pilgub DKI Jakara. Mestinya seorang sarjana itu serasional goyangan Saipul Jamil yang dapat berputar hingga 360 derajat.

Selain pakaian toga yang sungguh tak-ada-nilai-gunanya itu, prosesi wisuda juga tak kalah anehnya. Setiap kali saya mengikuti prosesi ini, saya melihat wajah-wajah sumringah penuh kebahagiaan serta raut rona wajah bersinar penuh kegirangan terlihat begitu jelas. Entah apa yang sebetulnya mereka bahagiakan.

Orangtua, kerabat, sanak saudara, dan gebetan (bagi yang mampu) tak ketinggalan ikut terharu bangga lantaran anggotanya mampu menyelesaikan studi. Mereka berfoto-riya bersama dengan sumringah memamerkan senyum-mangap pepsodent berdiameter 1,5 kilometer. Tak ketinggalan mereka berfoto dengan background buku-buku tebal (padahal cuman foto boot) yang semangkin menancapkan dirinya sebagai insan akademis yang mencintai pengetahuan.

Setelah puas berfoya-foto bersama rekan atau gebetan (sekali lagi bagi yang mampu), maka prosedur selanjutnya adalah memilih foto yang bagus, gila dan anti mainstream untuk kemudian dimasukan ke kandang yang bernama instagram. Barangkali ritual mengupload foto ke instagran adalah rangkaian prosesi wisuda yang wajib dipenuhi sebagai saksi untuk menegaskan eksistensi bahwa “SAYA TELAH JADI SARJANA”…

Wuuiih ngeriii benerrrr…

Akan tetapi kalian jangan tertipu oleh mereka. Setiap kali saya memperhatikan para wisudawan dengan amat serius, yang dapat saya tangkap adalah kebahagiaan mereka begitu palsu, raut kesenangan yang menipu. Mereka seolah-olah hidup dalam kepura-puraan. Dalam hal ini saya berani menegaskan bahwa wisudawan memang perwujudan bunglon yang paling ideal. Sebab saya tahu di balik raut kebahagiaan semu, ada spiral pertanyaan yang mengoyak-ngoyak batinnya. Tentang apa yang harus dilakukan setelah jadi sarjana. Pilihannya ada tiga: menikah, kerja dan kuliah lagi. Jika tidak bisa menentukan pilihan, maka menjadi pengangguran adalah langkah alternative yang bisa dipilih. Sebab di pundak merekalah kuantitas pengangguran bertambah.

Wisuda itu bukan gerbang awal kesuksesan, tapi puncak kebingungan. Jika ketika kuliah dipusingkan dengan banyaknya kegiatan, maka setelah jadi sarjana mereka bingung nggak ada kegiatan.

Sejurus dengan itu, mohonlah jangan dijadikan prosesi wisuda sebagai ajang pamer-pameran sehingga memecah belah lingkaran pertemanan. Saya tidak tahu mengapa selalu saja ada eksklusivitas dalam setiap prosesi wisuda. Disparitas kelas antara wisudawan dengan non wisudawan, antara yang cum laude dengan yang nilai pas-pasan, dan antara yang memiliki gebetan dengan yang mencari sesuap nasi aja sulit, apalagi memilikinya, harus dibumihanguskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan.

Bagi yang sudah menjadi wisudawan, mohonlah untuk terlalu girang merayakannya karena mungkin ada teman yang sehidup semati masih berjibaku dengan keruwetan skripsi. Bagi yang cum laude, bisalah untuk menyimpan selendangnya terlebih dahulu ketika berfoto bersama yang nilainya tak lebih dari ketinggian pohon toge. Bagi yang memiliki gebetan, mohonlah untuk tidak berfoto di depan-pinggir-belakang saya. Karena itu menyakitkan. Sungguh.

Karena itulah, prosesi wisuda dapat menimbulkan potensi polarisasi bangsa. Memang saya tahu perkara ini jangan dilihat sekadar sebagai klasifikasi diferensiatif belaka. Tetapi apa boleh buat secara kasat mata prosesi wisuda memang sarat dengan penciptaan kasta. Akan tetapi meskipun begitu, tetap saja minat untuk wisuda dan menyandang gelar sarjana tetap menjadi idaman kaula mahasiswa. Termasuk saya.

Kasih aku judul skripsi, dong. :(

Pertama kali terbit bulan November 2016 di Bangor.in

No comments