Shalat lebih Penting daripada HTI


 
Ini saya Ilham Ibrahim di masjid Agung Ciamis

Dalam tipologi pemikiran Islam yang digagas oleh Abdullah Saeed, para pendekar khilafah Islamiyah masuk dalam kategori The Political Islamist. Menurut Abdullah Saeed dalam buku monumentalnya yang berjudul Islamic Thought an Introduction menerangkan bahwa tipologi jenis ini mempunyai tujuan akhir yaitu mendirikan Negara Islam atau yang lazim disebut sebagai Khilafah Islamiyah.

Alasan utama mereka menginginkan Islam menjadi sebuah Negara adalah untuk kembali membangun peradaban yang dulu pernah ada. Bagi mereka, cukuplah kesaksian yang disampaikan oleh Marshal Hodgson dalam karyanya, The Venture of Islam, menjelaskan bahwa Baghdad merupakan bintang cemerlang di semua gugus kota yang ada di planet bumi saat itu.

Dengan secuil alasan agar Islam kembali mentereng sehingga solusi utamanya adalah Khilafah, menurut saya, mereka sebetulnya menginginkan masa lalu sebagai masa depan. Ciri umat yang sulit moving on memang begitu, maunya masa lalu kembali hadir, inginnya masa lalu menjadi realitas di masa depan. Padahal untuk maju berkembang harusnya ke depan, bukan jalan di tempat apalagi mengingat fragmen masa lalu untuk didaur ulang kembali.

Terkait Khilafah ini memang masih menjadi perdebatan di lingkaran umat Islam. Ada yang malu tapi mau. Ada pula yang tidak malu-malu untuk menyatakan tidak mau. Namun yang secara terang-terangan berteriak lantang menginginkan ide ini berdiri di atas segalanya seperti ISIS dan Hibut Tahrir.

Cara yang ditempuh oleh Hizbut Tahrir Indonesia untuk mendirikan Khilafah memang unyu-unyu gimanaaaaaa gitu. Pergerakan mereka memang tidak sesenyap jualan heroin, namun cara mereka mengdoktrin sedikit menggelitik. Sederhananya, tak perlu menunggu Negara Api menyerang untuk menunggu perubahan, cukup dengan Khilafah. Cara yang mereka tempuh: membagikan brosur, berdemo di jalanan, dan menyimpan bulletin setiap jumat di penjuru masjid-masjid seluruh nusantara.

Hehehe, mau mendirikan Khilafah kok kayak promosi Perguruan Tinggi saja.

Kalau saya tidak lancang, Khilafah ini bagi mereka seperti Teh Botol Sosro: apapun masalahnya, solusinya Khilafah. Pembahasannya itu-itu saja. Tentang banalnya system ekonomi kapitalisme, neoliberalisme, neoimperealisme. Sesekali lantang mengkritik ide sekularisme dan demokrasi. Dan kita pasti tahu akhirnya Khilafah juga sebagai pangkal solusi. Selalu begitu. Makanya mereka tidak berkembang.

Masak mau mendirikan Khilafah dengan kertas bulletin tiap jumat. Emangnya jualan ubur-ubur?

Cara yang dipakai Hizbut Tahrir tidak berlaku lagi bagi ISIS. Sejak Abu Bakar al-Baghdadi, sebagai owner ISIS, berkampanye soal Negara Islam, kita disuguhi parade kebrutalan yang sulit untuk dilihat oleh mata kemanusiaan. Kebiadaban itu seakan menjadi kebanggaan yang perlu dipamerkan di portal-portal online macam youtube, facebook, twitter dan lain-lain. Sehingga akibanya setiap ada ledakan, di sana ada pembahasan soal Islam.

Persoalan peliknya kemudian, apakah Khilafah ini memang benar-benar harus diperjuangkan hingga bulletin tiap jumat membanjiri masjid-masjid  dan darah-darah tak bernyawa keluar dengan enteng ? jujur saja, hal ini samasekali tidak mengindahkan Islam. Sebab, Khilafah seakan kewajiban yang harus ditaati daripada ajaran agama lainnya macam shalat.

Kadar kewajiban shalat seperti kalah oleh Khilafah yang tabu. Padahal, di dalam Quran perkara kefardhuan shalat lebih sering diingatkan oleh Allah ketimbang harus memperjuangkan Negara Islam. Di dalam hadist pun demikian. Bahkan hadist tentang Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwah itu kadarnya Hasan bukan Shahih. Jadi, buat apa sekarang kalian wahai om-om dan tante-tante lebih sibuk bergosip riya perkara Khilafah daripada mengingatkan kewajiban shalat setiap saat ?

Saya tidak tahu, apakah setiap pendekar Khilafah yang berdiri mengepalkan tangan mengkampanyekan Khilafah disertai dengan rajinnya shalat ? apakah shalatnya anggota ISIS serajin menumpahkan darah manusia ? saya akan lebih respect kepada orang yang kejam untuk menyuruh melaksanakan shalat (kepada muslim tentunya) daripada kepada orang yang serak-teriak berdesakan soal Khilafah.

Karena itu, apakah hari ini tiang agama telah berganti dari shalat ke Khilafah ?

Kepelikan kian bertambah dengan ikut nimbrungnya para pemikir sekular-liberal dalam lingkaran diskusi Khilafah ini. Dengan teori-teori hukum tatanegara yang diambil dari Barat mereka menolak Khilafah. Iya, mereka sama juga: melupakan shalat. Bahkan pemikir sekular-liberal lebih parah lagi. Mereka bisa mengadakan seminar sampai menabrak waktu shalat. Padahal mereka sering sekali berdiskusi soal Islam. Tapi soal shalat seperti masa indah dengan mantan: dilupakan begitu saja.

Sudahlah. Sudah. Lebih baik sekarang kita rajin shalat dan tidak lagi menghabiskan energy untuk terus berdebat sesuatu yang musykil macam Khilafah. Lebih baik kita disibukan dengan membahas shalat, keharusan shalat, manfaat shalat dan kerugian bila tidak mendirikan shalat. Tak pernah ada dalam narasi apapun terkait kerugian mendirikan shalat. Kalau rugi karena berjuang mendirikan atau menolak Khilafah mah banyak.

Karena itu, janganlah kalian sibuk berbicara Islam tapi shalat saja masih bolong. Bolongnya shalat mungkin sebagai tanda dari kurangnya wawasan tentang Islam. Masak pergi turun ke jalan kampanye soal Khilafah saja berani tapi shalat ke masjid masih leha-leha. Masak diskusi tentang menolak Khilafah bisa sampai berjam-jam tapi shalat tiap malam setahun sekali. Orasi di jalan menolak kapitalisme bisa tapi kok jadi imam shalat nggak bisa.

Situ apa agama Islam “agama Khilafah” ?

No comments