Kiat Menjadi Seorang Pemalas

Malas adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka bekerja dengan giat harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan.

Gotthold Ephraim Lessing, penulis besar era Renaissance, melarang kita semua untuk malas dalam bermalas-malasan. Buruh tidak perlu bekerja dengan giat dan pelajar tidak harus belajar dengan keras. Lakukan semuanya dengan santai dan tutup semuanya dengan bermalas-malasan, dengan minum, dengan berpesta di atas lantai dansa.

Sebab bagaimanapun mozaiknya, malas merupakan organ terpenting yang tidak bisa dipisahkan dari sifat dasar kemanusiaan, dan ‘kerja’ bukanlah kebutuhan organik manusia.

Seorang kritikus sosial yang bernama Paul Lafargue pernah menulis sebuah buku yang berkaitan dengan ini judulnya: The Right to Be Lazy. Hak untuk Malas. Meski bukunya tipis, namun bagi orang yang kurang paham terhadap Marxisme atau hal-hal yang berbau kiri dibutuhkan pendalaman bacaan untuk dapat menikmati keintiman dengan buku ini. Saya tahu karena saya pernah merasakan getirnya membaca buku dari menantu Karl Marx ini. Sulit.

Titik fokus Lafargue dalam bukunya itu sebetulnya menyoroti betapa dahsyat dogma kerja diamini oleh kaum buruh. Kaum komprador dan pemodal tenang bila buruh semuanya rajin dan giat dalam bekerja, sementara hidup mereka terus dalam bayang-bayang kemiskinan. Nah, penolakan pokok Lafargue terhadap kerja bukanlah gerak melarikan diri, melainkan hanya sebagai terompet peringatan kepada proletariat yang harus membiasakan diri untuk tidak bekerja, kecuali hanya tiga jam sehari, dan menyediakan seluruh waktu lainnya siang dan malam untuk bersantai dan berpesta.

Maka, nikmat malas mana yang kau dustakan ?

Berbicara soal malas serta romantika yang melingkupinya, saya jadi teringat pada kutipan seorang motivator ulung lintas benua yang namanya entah siapa lupa lagi, ah, sebut saja Hamba Allah, menurutnya, “kalau kamu takut jadi orang miskin, maka jauhilah sifat malas, sebab miskin dan malas adalah sahabat dekat.

Orang-orang yang penuh dengan kalimat motivatif seperti di atas seringkali menjual kesuksesan, saya kira mereka terlampau angkuh lantaran merasa dirinyalah satu-satunya pemegang tampuk masa dengan yang cerah, sedangkan orang-orang malas seperti saya ini dicap sebagai manusia rendahan tanpa harapan yang nantinya hidup di bawah garis kemiskinan. Enteng bener.

Lagi pula masa depan para pemalas hanya ada pada Tangan Tuhan, bukan di mulut-mulut penuh cacian para motivator yang seringkali menghakimi para pemalas dengan segudang kata ‘masa depan suram’. Pola pikir matre seperti ini tumbuh subur bersamaan dengan dominasi ideologi kapitalisme di segala lini. Akhir dari kerja keras hanya akan mengakibatkan membuncahnya persaingan, semangatnya pertempuran, namun hanya untuk memperebutkan secuil rente dan sepotong prestise.

Pemalas memang secara alami akan selalu bermusuhan dengan motivator. Dan motivator seringkali mempunyai keselarasan dengan keinginan para pemodal. Lupakan para motivator, sebab bagi saya akan teramat picik jika kita memaknai kehidupan sebagai manusia hanya untuk bekerja dengan giat.

Saya tidak tahu mengapa selalu ada korelasi positif antara motivator dengan kapitalis dalam pasal ‘tidak malas dalam bekerja’. Kata motivator, rajinlah bekerja agar sukses tercapai. Pun dengan pemilik modal yang menyuruh buruh untuk tetap bekerja dengan giat. Dengan ini saya kira perlu mengutip Eddward S. Kennedy menyatakan bahwa Mario Teguh hanyalah satu dari sekian berjibun (bisnis) motivator yang muncul dari suprastruktur kapitalisme modern.

Betul. Pada pemerintah kolonial Belanda melalui kebijakan tanam paksa, misalnya, rakyat memang tidak lagi malas, bahkan sangat rajin bekerja. Mereka dipaksa untuk kerja, kerja dan kerja yang kemudian hasilnya dinikmati oleh pemerintah kolonial, tapi hidup mereka sendiri tetap berkubang dalam kemiskinan.

Slogan ‘Kerja, Kerja dan Kerja’ yang digembar-gemborkan oleh pemerintahan Jokowi-JK, memang selaras dengan dalih Kolonial Belanda 140 tahunan yang lalu. Hal ini tidak lepas dari dugaan Arif Novianto yang menegaskan bahwa pemerintahan Jokowi-JK cenderung mengarahkan kapal negara ini menuju kebijakan neo-liberalisme.

Karena itulah, kawanku, mulai sekarang kita perlu berhenti mencemooh para pemalas dengan kata-kata motivatif katro seperti di atas tadi, bagaimana pun menjadi pemalas bukanlah suatu dosa besar yang perlu disucikan oleh air sebanyak tujuh kali sisanya pake tanah. Mereka bukanlah manusia najis. Mereka juga bukanlah ahli neraka. Mereka, para pemalas, adalah sebaik-baiknya manusia. Manusia seutuhnya.

Pemalas hanya sedang melawan system kapitalisme dalam diam. Dalam kemalasannya ada denyut resisten kepada para pemodal yang sering kali mencuri surplus value rakyat seenaknya. Karena itu, untuk menghentikannya kita tidak perlu menjadi aktivis kiri yang berdemo di jalanan hingga bakar ban di siang hari, tidak butuh pula Khilafah, cukup dengan bermalas-malasan, Anda sudah menyelamatkan Indonesia dari cengkraman setan yang bernama KAPITALISME!

Cara paling mudah untuk menjadi seorang pemalas sejati adalah dengan enggan melakukan segala sesuatu dan membuang seluruh tayangan televisi, buku-buku, quotes dan link yang berpautan dengan motivasi. Selamat datang! Selamat datang para pemalas baru di medan laga yang entah nantinya akan ditafsirkan seperti apa.

Sekarang ini bekerja keras sudah tidak berguna lagi. Sebab semakin bekerja keras, pemodal akan semakin tangguh menancapkan taringnya di wilayah-wilayah Indonesia.

Karena itulah kawanku yang super, jadikanlah diri Anda semalas mungkin, itu artinya Anda semakin menjauhkan Indonesia dari rongrongan IMPEREALISME!


No comments