Masih Islamkah Saya ?
Dalam rutinitas saya sehari-hari, setelah memenuhi kebutuhan spiritual di sore hari dengan shalat ashar berjamaah, saya seringkali mendengarkan kultum dari beberapa mahasiswa untuk menambah siraman rohani. Isu yang diangkat oleh mahasiswa yang satu ini menarik, bahkan secara “radikal” langsung menambak kepada saya secara pribadi. Ia melontarkan pertanyaan yang menurut banyak orang “nyeleneh”, tapi menurut saya menarik, pertanyaannya: Mas Ilham, masih Islam ?
Saya tidak tahu motif apa dia menanyakan hal itu. Kemunkinan
besarnya adalah karena tulisan-tulisan saya di blog ini. Terutama yang paling
menghebohkan jagat dunia maya dan nyata adalah tulisan saya tentang Zakir Naik.
Bahasa yang saya gunakan dalam tulisan itu memang nakal dan lumayan hentai, tapi jujur sampai saat ini saya
masih mengagumi sosok Zakir Naik tanpa merendahkannya.
Pertanyaan serupa juga sebenarnya pernah dilontarkan seorang
dosen Kristologi, mantan misionaris yang sejak tahun 2007 menjadi mualaf ini
menanyakan kepada seluruh mahasiswa – termasuk saya: Mengapa anda beragama
Islam ?
Saya pikir dua pertanyaan ini perlu dijawab agar tidak terus
membelenggu. Namun cara saya menjawab akan persoalan ini akan “agak” terasa
aneh bila didengar atau dibaca oleh khalayak umum.
Ada beberapa persoalan saya dihadapkan tidak lagi seperti “Islam” dalam pandangan umum, terutama ketika doktrin agama berbenturan dengan fakta empiris yang berbasis disiplin ilmu-ilmu modern. Dari kelas tiga SMA sampai sekarang ketegangan antara rasionalisme ilmiah dan doktrin keagamaan itu dalam diri pribadi saya masih berlangsung. Kemungkinan besar persoalan seperti ini pernah dihadapi oleh Ibnu Rusyd yang kemudian diusir oleh istana karena dianggap membawa paham sesat Yunani, seperti Ibnu Sina dan al-Kindi yang dianggap telah zindik bahkan kafir oleh Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul Incoherence of the Philosophers.
Lihat sekarang, betapa semua muslim mengagumi Ibnu Sina
karena dianggap sebagai muslim yang cerdas, baik sunni maupun syiah atau
golongan paling ekstrem sekalipun akan setuju. Ibnu Rusyd yang pernah
diasingkan karena dianggap sesat ternyata di Barat dianggap sebagai The Commentator Aristoteles yang paling
otoritatif. Bahkan Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang dianggap ‘menyimpang’ oleh kalangan
konservatif ketika itu justru menurut penulis buku Golden Prism of Winter, Daniel David Lavering, dianggap sebagai pembawa Renaisense
di Eropa.
Jadi, sebenarnya saya tidak takut dikatakan kafir oleh kaum takfiri karena memang zaman dulu seperti
itu pergulatannya. Ahmad Dahlan, Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Nurcholish
Madjid dan lain-lain pernah dikafir-kafirkan.
Istilah ‘kafir’ adalah bahasa agama, jadi hal yang wajar jika
ada yang tidak sesuai dengan pemikiran keagamaan secara umum akan dianggap
‘menyimpang’ atau lebih keras lagi sebagai orang ‘kafir’. Biasa.
Selain doktrin keagamaan vs fakta empiris, saya juga masih
merasa belum menjadi muslim seutuhnya ketika dihadapkan pada sebuah dilema: Human Right dan Commanding Good and Prohibiting Evil, antara hak asasi dan amar ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan
kepada yang baik dan menolak kemungkaran).
Menjadi kewajiban untuk seluruh muslim yang ada di dunia ini
untuk “Commanding good and
prohibiting evil” sebagaimana yang tertulis dalam QS. Ali-Imran: 104 – ayat
yang sering dikutip oleh Muhammadiyah. Artinya, ketika kita menemui seorang
perempuan yang tidak memakai jilbab, maka harus menegurnya karena bagian dari
“commanding good”, memerintahkan hal yang baik. Dan Ketika ada kemaksiatan
antara dua orang muslim di dalam satu ruangan maka kita harus “prohibiting
evil” bagaimana pun juga. Ada banyak contoh kasus dalam realitas nyata yang
mengharuskan kita untuk memerintahkan kepada kebaikan dan menolak kemungkaran.
Namun dalam konteks
masyarakat yang sedemikian pluralnya akan sulit untuk kita menegakan hal ini.
Sebab, jika kita memaknai Commanding good
and prohibiting evil ini secara sempit, maka akan berujung pada kekerasan.
Setiap gereja akan dirubuhkan karena bagian dari menolak kemungkaran, setiap
non-muslim dipaksa masuk Islam karena dianggap sebagai memerintahkan kepada
kebaikan. Bagaimana pun ini akan selalu menjadi dilemma yang paling mengerikan
bagi setiap muslim karena harus memilih antara tunduk pada aturan sebagaimana
makna “al-Islam” atau tidak tunduk karena persoalan pluralitas ?
Kembali ke pokok pertanyaan, saya masih Islam dan akan terus
beragama Islam sampai mati. Namun yang
menarik adalah ketika di depan teman-teman atheis dan Jaringan Islam Liberal
(JIL) saya dianggap konservatif. Jika harus meminjam istilah Abdullah Saed
dalam bukunya yang berjudul Islamic
Thought: An Introduction tentang Tipologi Pemikiran Islam, saya adalah
seorang “Legalist-Tradisionalist” dan “The Theological Puritans”, yang titik tekannya adalah pada fiqih
tradisional yang dikembangkan dan ditafsirkan oleh para ulama periode pra-modern
dan fokus pemikirannya adalah
pada doktrin Islam.
Tapi berbeda anggapan orang-orang ketika saya disini, di
rumah besarnya “konservatisme”, saya dianggap seperti apa yang disebutkan Tariq
Ramadhan dalam bukunya yang berjudul Western
Muslims and the Future of Islam, sebagai seorang muslim “Liberal or
Rational Reformism”, yang berupaya menafsir ulang pemahaman agama lewat ijtihad
dengan menggunakan perangkat metodologi ilmu-ilmu modern, seperti sains, social sciences, humanities dan critical
philosophy.
Begitulah cara saya berislam haha! Nggak penting juga sih.
Post a Comment