Aulia Hilman adalah Kutukan
Asrama
Syafi’i. Kamar 14. Saya sedang duduk menunggu orang untuk membuka wacana tema
obrolan. Akan tetapi semua orang yang ada di dalam asrama itu tampaknya
tenggelam bersama dunianya: handphone, headset dan siul-siul tanpa arah dari
mulut beberapa santri. Tak ada yang spesial di ruangan itu kecuali suasana
tenang mengandung kecemasan: masing-masing santri tak sabar menunggu sebuah message yang datang dari santriawati di sebrang
asrama sana.
Lalu,
datanglah seorang santri yang bernama Reynaldi, seolah merobek kesunyian yang
janggal itu. Dari raut wajahnya, santri itu tampak cemas. Suasana asrama pun
sedikit mencair. Sedikit ramai. Dari keriuhan obrolan antar santri, saya jadi
tahu, Reynaldi baru saja kehilangan handphone yang dititipkan ke Aulia Hilman.
Seperti anak ingusan yang tidak sengaja ketemu dengan orang
yang dikaguminya, Aulia Hilman
begitu shock hingga nyaris pinsan dengan realita yang terjadi. Terlebih membayangkan bagaimana peliknya situasi dalam
asrama yang terus tanpa henti menyiratkan sindiran bahwa dirinyalah
satu-satunya orang yang harus bertanggungjawab dari hilangnya handphone
tersebut. Sampai detik ini pun handphone dengan merk Nokia tidak ditemukan,
hilang bersama tanggung jawab Aulia Hilman kepada Reynaldi.
Seingat
saya, ketika situasi maha genting bagi batin Aulia Hilman, ia memutuskan untuk
keluar dari pesantren itu. Sungguh mental tempe yang datang dari seorang hamba
sahaya mie instan. Jika waktu itu terulang, saya akan menasehati Aulia Hilman
bahwa jangan berjanji kala gembira dan jangan mengambil keputusan ketika
bersedih, sebab semua itu hanyalah reaksi emosional belaka bukan hasil
hitung-hitungan akal yang rasional.
Aulia
Hilman adalah jiwa peragu. Ia seperti tidak percaya dengan kemampuannya
sendiri. Saat vonis dari diri sendiri acap diberikan melebihi tuntutan wajar
orang lain, maka jiwa manapun pasti akan semakin kerdil, jiwa yang kerdil akan
menjadi sesosok Aulia Hilman, jiwa peragu. Serius, dengan nalar paling kokoh
sekelas Michel Foucault sekalipun apabila watak
peragu atau bisa dikatakan pengecut tetap menempel pada dirinya, maka lebih
baik segera operasi kelamin menjadi wanita saja, karena jiwa yang seperti itu
tidak dibutuhkan di dunia ini bagi para pria terhormat.
Meskipun
ya tidak bisa dipungkiri juga, jiwa peragu dari Aulia Hilman menghasilkan
pemikiran yang menurut saya unik terutama pandangannya tentang pacaran.
Pandangan Aulia Hilman ini saya kira bisa dibilang sebagai jawaban paling
meneduhkan dari gelombang anti-pacaran yang kini semakin membludak.
Gerakan
anti-pacaran massal yang kini menjadi trend di kawula muda, barangkali perlu
diapresiasi sebagai prestasi paling gemilang tokoh revolusioner abad 21,
al-Mukarom Felix Siauw. Kata Felix, yang sedang pacaran, disuruh buru-buru
nikah. Yang nggak mau nikah dulu, putuskan saja. Enteng bener. Alasannya karena
dalam Islam yang ada hanyalah ta’aruf, bukan pacaran. Jangan mendekati zina,
begitu dalilnya. Jelas.
Kecemasan,
kekhawatiran dan bayang-bayang buruk terhadap pacaran dalam pandangan Aulia
Hilman hanyalah reaksi natural saja, alamiah yang timbul dari dalam diri.
Siapapun yang mempunyai anak atau adik perempuan pasti was-was, khawatir jika
nantinya tenggelam dalam kehidupan yang semakin bebas. Instink orang tua dan
seorang kakak memang begitu, saya yakin, saya juga.
Untuk
menjawab tuduhan bahwa dalam Islam tidak ada pacaran dan yang ada hanyalah ta’aruf,
menurut Aulia Hilman, tidak usah jauh-jauh menggunakan pendekatan Hermeneutik
Schleiermacher, atau membuka bab Kaifiyatul
Jima’ dalam kitab Qurratul ‘Uyun, sebab
dalam pandangan Aulia Hilman, sejatinya pacaran dan ta’aruf itu sama. Yang
membedakan hanyalah bahasa. Orang Indonesia, kata Aulia, sering kali tertipu
oleh istilah. Dikira bahasa Arab lebih halal daripada Bahasa Indonesia. Sehingga
pacaran dan ta’ruf mempunyai kadar ‘kesucian’ yang berbeda padahal mah sama.
Bagi
pemikir Jomblo Liberal seperti Aulia Hilman, yang senantiasa berjihad di jalan
kejombloannya, status jomblo merupakan kepahitan yang amat mendalam. Serasa
kurang kasih sayang. Tidak ada yang mengucapkan selamat pagi. Tidak ada yang
mengingatkan makan-minum-mandi. Namun yang disesali oleh Aulia Hilman adalah ada
sebagian orang yang menjadikan ‘agama’ sebagai kedok pembenaran untuk konsisten
menjadi jomblo. Jadi, jika Jomblo Liberal seperti Aulia Hilman sebenarnya ingin
pacaran tapi suatu hal yang sulit untuk menaklukan hati perempuan, maka jomblo
fundamentalis adalah jomblo yang menjadikan Agama sebagai kedok dari
ketidaklakuan dia dalam percaturan pencarian asmara yang semakin mengglobal.
Perlu diketahui juga, kejombloan Aulia Hilman seakan menjadi
kutukan dari dewa. Jika para eksistensialis, seperti Jean-Paul Sartre, percaya
bahwa manusia dikutuk menjadi bebas saat turun ke dunia, maka Aulia Hilman
dikutuk turun ke dunia dengan bakat dan kemampuan ketabahan hidup tanpa
pasangan. Jika Sisifus dikutuk berulang kali naik ke puncak gunung sambil
mendorong sebongkah batu besar, maka bongkahan batu besar itu bagi Aulia Hilman
adalah bakat dan kemampuannya dalam ketabahan menerima takdir Allah.
Bayangkan, mencoba mendekati perempuan yang kesemuanya ditolak
mentah-mentah hingga hattrick tentu
bukan ingatan yang indah untuk dirawat menjadi kenangan. Pada akhirnya
bagai seekor angsa yang berenang di danau lepas, Aulia Hilman merapat ke
pelabuhan dengan anggun untuk memastikan bahwa jalan kejombloannya benar-benar
terinpirasi oleh Tan Malaka, yang sampai
akhir hayatnya sibuk ngurus Indonesia sehingga lupa untuk menikah.
Saya kira momen puitik ini perlu dimaknai
dengan suasana yang lebih sakral. Maka ijinkan saya untuk memberikan penggalan
ayat Qur’an di surat an-Nas ayat enam: “Minal
Jinnati wan Naas”
Di Bandung, Aulia Hilman mewakili keduanya.
Post a Comment