Para Filosof Jomblo

Al-Mukarom Hadratu as-Syaikh al-Kabiir al-Ustadz Felix Siaw dengan segala kelebihannya mengajak kepada kita semua untuk tidak pacaran, katanya “Putuskan saja!” dengan nada yang serius. Sementara menurut Kiayi Besar NU, Ulil Abshar Abdala “Silahkan pacaran selagi bukan untuk melampiaskan nafsu ‘predator’ manusia.” Kata bapak saya, “Pacaran boleh, tapi ndasmu yang menghendaki tidak boleh.” Anjir! L

Sebenarnya yang lebih pantas berceloteh dan berkomentar bukan para pendakwah yang notabenenya membikin orang ke jalan yang lurus versinya, bukan pula cendikiawan liberal yang tugasnya ‘melunakan’ hati manusia yang keras karena terus memaksakan hak kepada orang lain. Biarkanlah cinta dibisikan oleh mereka, para pemikir cinta, cendikiawan asmara.

Indonesia dengan sejumlah kemunafikannya mempunyai ratusan filosof yang mempuni sehingga tidak usahlah kita jauh-jauh melihat bait-bait jatuh cinta dari Rabiah Al-Adawiyah, syair-syair Kahlil Gibran yang dapat membuat seseorang terus merindu kepada rembulan atau pun tulisan William Shakespeare tentang Romeo-Juliet yang sampai saat ini tidak bisa dinalar orang orang-orang waras. Cukuplah kita tengok Raditya Dika (1984-2045 mungkin) dengan segala tulisannya, dia merupakan pemikir cinta, cendikiawan asmara.

Banyak karya yang telah diterbitkan oleh filosof yang satu ini. Ia adalah penulis, actor, sutradara, pelawak. Bait-baitnya pun lebih ampuh daripada ajakan tentang ‘langsung nikah’ ala al-Mukarom Ustadz Felix Siaw. Tulisannya lebih berpengaruh daripada kampanye ‘anti pacaran’ dari Hadratus as-Syaikh Ustadz Felix Siaw. Dakwahnya lebih segar daripada ‘putuskan saja!’ milik as-Syaikh al-Kabiir kiayi haji Felix Siaw. Yah mungkin Ustadz yang satu ini bukan siapa-siapa, karena menurut Radiya Dika, “jika bukan siapa-siapa, maka takan dapet apa-apa.”

Hal saya sayangkan dari Radiyta Dika adalah, dia cenderung radikal terhadap satu golongan, golongan yang menjadi antitesanya, golongan itu adalah golonganku, golongan jomblo liberal. Sebab, jomblo liberal selalu memandang bahwa pemikir cinta radikal cenderung tidak selalu menghormati hak-haknya kala di tempat umum, seringkali melakukan tindakan intoleransi berjamaah di bioskop dan yang paling parah adalah membuat Tuhan kebingungan untuk menurunkan hujan atau tidak ketika malam minggu jatuh tempo.


Tapi lebih dari itu, saya sebagai co-founder Jaringan Jomblo Liberal begitu mengapresiasi pendapat Raditya Dika ini. Secara tidak langsung sebenarnya dia berkampanye agar segera mendapatkan pacar, mungkin agar Tuhan kelak tidak terlalu bingung dan dapat dengan mudah memutuskan lewat ‘voting doa’ untuk menurunkan hujan atau tidak. Tuhan yang demokratis.

Akan tetapi, filsuf jomblo sekaligus Walikota ganteng, Ridwan Kamil si “Bapak Jomblo Indonesia”, yang lebih saya sukai daripada Radita Dika, meskipun beliau sudah bukan bagian dari golongan kami, tapi dia adalah pemikir jenius yang senantiasa memberikan dorongan moril bahkan materil. Biarkanlah Taman Jomblo yang dibangunnya di bawah lindungan flyover Pasupati adalah saksi bisu betapa respectnya ia terhadap kaum jomblo. Contohlah Kang Emil!

Meskipun Raditya Dika dan Ridwan Kamil mempunyai pemikiran yang berbeda dalam menyikapi fenomena jomblo, namun kedua filosof ini mempunyai tujuan yang sama: segera cari pacar! Sayangnya lagi-lagi golongan Front Pembela Nikah pimpinan al-Habib al-Ustadz Felix Siaw tidak setuju. Menurut mereka, mendingan langsung nikah saja. Tapi bagi saya, mendingan langsung kawin! *eh

Saya menduga golongan Front Pembela Nikah adalah pengikut madzhab Takfiri. Jomblo fundamentalis. Dimana pacaran merupakan bid’ah yang harus diberantas karena Nabi dengan Khadijah tidak melewati fase pacaran. Pacaran merupakan jalan sesat yang harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pacaran juga bagian dari budaya kafir Barat yang laknat sehingga KAFIR-lah bagi mereka yang pacaran dengan alasan tasyabbuh. Lebih dari itu menurut mereka dalam Islam tidak ada pacaran, yang ada hanyalah ta’aruf.

Untuk menjawab tuduhan bahwa dalam Islam tidak ada pacaran dan yang ada hanyalah ta’ruf, kata teman saya yang merupakan pemikir Jomblo moderat, dia menggunakan pendekatan Hermeneutik Schleiermacher, menurutnya, sejatinya pacaran dan ta’ruf itu sama. Yang membedakan hanyalah bahasa. Kita sering kali tertipu oleh istilah. Dikira bahasa Arab lebih halal daripada Bahasa Indonesia. Sehingga pacaran dan ta’ruf mempunyai kadar ‘kesucian’ yang berbeda padahal mah sama.

Bagi pemikir Jomblo Liberal seperti saya, status jomblo merupakan kepahitan yang amat mendalam. Serasa kurang kasih sayang. Tidak ada yang mengucapkan selamat pagi. Tidak ada yang mengingatkan makan-minum-mandi. Namun ada sebagian yang menjadikan ‘agama’ sebagai kedok pembenaran yang konsisten untuk menjadi jomblo. Saya menduga Jomblo tipe ini seperti politisi kandang sapi. Jomblo fundamentalis. Agama dijadikan pembenaran padahal karena memang nggak laku. Agama dijadikan tameng untuk tidak pacaran padahal karena memang ia sulit menaklukan hati perempuan. Mereka senantiasa berjihad di jalan kejombloannya.

Jadi, jika jomblo liberal seperti saya sebenarnya ingin pacaran tapi suatu hal yang sulit untuk menaklukan hati perempuan, maka jomblo fundamentalis adalah jomblo yang menjadikan Agama sebagai kedok dari ketidaklakuan dia dalam percaturan pencarian asmara yang semakin mengglobal. Sementara Jomblo moderat adalah ia menjadikan jomblo sebagai identitas yang memang ia sukai. Karena mungkin ingin focus ke pendidikan atau ke bisnis dan lainnya.


Ini adalah era kontemporer. Berusahalah untuk mencari pasangan seperti halnya jomblo liberal, contohlah Miyabi yang istiqamah fi mabiili thalabi al-habiib. Berpikir tebukalah seperti halnya jomblo moderat, contohlah Tan Malaka dan WR. Supratman yang sampai akhir hayatnya sibuk ngurus Indonesia sehingga lupa untuk menikah. Tapi tolong jangan jadi jomblo fundamentalis yang senantiasa agama diajadikan alat untuk mengutuk orang lain, yang menjadikan agama itu serasa tidak suci lagi, contoh: Al-Mukarom Felix Siaw. Jadi, yuk kita pacaran. I love you, TEMBOK!

No comments