Jombang yang Saya Tahu
Selama ini Gus Dur terlalu diistimewakan. Ia
dibingkai dengan setumpuk frasa “bapak pluralism Indonesia” oleh media atau para
peneliti, Sujiwotejo menyebutnya sebagai “bapak ceplas-ceplos”. Ia dimahkotai
sebagai tokoh humanis-humoris terbesar asal Indonesia. Ia dipuja dengan deretan
buku-buku tebal, seminar berhari-hari dan seringkali diarak keliling Indonesia
bersama buku biografinya karya Greg Barton. Bahkan yang saya rasakan, seolah-olah,
cacat bukanlah bagian dari kehidupan Gus Dur. Sangat jarang diungkap tentang tanah
kelahirannya itu.
Mata saya terbuka, bahwa ternyata Jombang
bukan hanya tentang Gus Dur atau Ponari si bocah titisan batu sakti, tapi lebih
dari itu, Jombang merupakan perwujudan paling menohok sebuah kabupaten yang mampu
menyatukan antara sunyi dan bising. Antara malam dan siang. Antara Kebo Cicak
dan Surontanu. Jombang adalah nama yang mampu menggabungkan dua paradoks dalam
satu kesatuan yang harmoni, warna hijau (ijo,
mewakili santri) dan merah pun (abang,
mewakili masyarakat nasionalis) pun mendominasi logo kabupaten yang konon hasil
dari pertarungan mahadahsyat antara Kebo Cicak dan Surontanu ini.
Orang-orang Jombang, berdasarkan dengan apa yang saya lihat,
bukanlah para pemuja dewa hedon seperti Syahrini si
cetar-membahana-awan-mendung-petir-dahsyat-wes-modar, yang kalau belanja bisa
sampai sedemikian mewah. Mereka juga tampaknya tidak terlalu sakau dengan
segala atribut kekinian, yang menuntut untuk terus up-to-date tentang berbagai hal seperti kebanyakan orang alay di
Jakarta. Barangkali esensi inilah yang dapat merawat nilai-nilai kemaksuman
Kota Santri yang tidak akan lekang dihantam waktu.
Julukan Kota Santri ternyata bukan hanya isapan jempol
belaka, hampir di setiap sudut sejauh mata memandang, setengah dari permukaan
Jombang ini adalah hamparan pesantren. Di saat yang bersamaan, Jombang, dengan
segala keunikannya, merupakan kabupaten yang memiliki nilai toleransi yang cukup
tinggi di Indonesia. Hal ini bisa ditelaah dengan mudah karena Gereja tertua di
Indonesia dengan arsitektur neo gothic ala Eropa berdiri gagah dengan tenang di
Kecamatan Mojowarno, Jombang.
Jika anda punya kesempatan untuk bertamasya dan mampir
sejenak di Jombang Tenggara yang meliputi
Kecamatan Mojowarno, Ngoro, dan Bareng, maka anda akan disuguhkan bahwa betapa
pluralisme bukan hanya ide utopist yang keluar dari pikiran Nurcholis Madjid, sebab
di wilayah yang khidmat ini, agama Islam, Kristen dan Hindu hidup saling
berdampingan dengan damai. Apalagi di dusun Ngepeh, Kecamatan Ngoro, anda akan
menemui Masjid, Gereja dan Pura sedekat jantung dan aliran darah. Mungkin
inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa makam disana tidak begitu rapi, karena
keberagaman agama, makam berpose secara tak seragam, ada yang ke utara ada pula
yang membujur ke barat.
Barangkali keharmonisan antar pemeluk agama
inilah yang membentuk pola pemikiran tokoh besar di berbagai bidang, sebut saja
mantan Presiden Indonesia, Gus Dur, seorang santri yang menata demokrasi saat
negeri ini sedang dalam keadaan mengambang dan bimbang. Beberapa Kyai Besar
seperti KH. Hasyim Asyari, yang mendirikan Ormas terbesar di Indonesia:
Nadlatul Ulama, di kalangan budayawan ada Emha Ainun Najib, sementara kalangan
cendikiawan muslim ada nama yang tak mungkin lupa, Nurcholis Madjid. Mereka
semua mempunyai semangat toleransi tanpa diskriminasi yang betul-betul
menggambarkan situasi-kondisi di Jombang.
Seolah ingin menciptakan keseimbangan
kosmik, dan percaya bahwa bintang takan bersinar tanpa kegelapan, Jombang juga
melahirkan tokoh yang sedemikian berbeda dengan tokoh-tokoh di atas tadi. Sebut
saja Ryan si penjegal yang berani memutilasi mayat manusia kemudian
menguburkannya di halaman rumahnya. Atau si Ponari bersama batu yang konon
mampu menyembuhkan berbagai penyakit mulai dari masuk angin sampai kanker serviks stadium 4. Hingga legenda poligami dunia yang sampai tahun 2013
telah menikah sebanyak 25 kali dan mempunyai 8 orang istri, tidak lain dan
tidak bukan: Hadratus Syaikh Eyang Subur.
Barangkali akronim kata “Jombang” yang disebutkan di atas telah
mewakili segala alasan kenapa kota ini penuh dengan paradoks. Warna ijo mencetak
tokoh besar lainnya. Warna abang melahirkan dukun sakti. Ini sama
halnya dengan kapitalisme yang akan selalu menjadi
sumber penyakit dan komunisme tidak selalu menjadi obatnya. Iblis akan selalu
menjadi sumber ‘masalah’ dan para kiayi belum mampu untuk menjadi penawarnya. Saya
kira hal ini kilas balik dari dongeng Kebo Cicak dan Surontanu yang takan pernah
habis sebab selalu ada kader yang meneruskan pertarungan mereka.
Saya juga baru tahu, ternyata Jombang bukan hanya perbatasan
antara mistik dan klenik seperti yang diceritakan banyak orang, tapi juga
perbatasan dari dua dialek Bahasa Jawa: Dialek Suroboyo dan Dialek Mataram.
Bagi anda yang bermukim sejenak berbatasan dengan Kabupaten Kediri dan Nganjuk,
maka Dialek Mataram akan begitu mendominasi, dialek yang (konon) menurut banyak
orang memiliki kesamaan dengan Bahasa Jawa Tengahan.
Sementara sebagian besar daerahnya dipengaruhi oleh Dialek
Suroboyo yang terkenal egaliter dan blak-blakan, karena itu bagi sebagian besar
orang Jombang, akan serasa kurang afdhal bila menyebutkan “banyak” tidak
dibumbui dengan selera ‘ke-blak-blakannya’ menjadi “buuuaaanyak”. Contoh lain,
“Sangat ayu” dua kata untuk sekedar menggambarkan perempuan cantik, bisa
menjadi “wwuuuuuaaaayyyuuune puuooolll”.
Setelah 28 hari lamanya saya tinggal di
Jombang dalam rangka kegiatan Safari Ramadhan tugas dari kampus, selain berevolusi
menjadi hamba sahaya sinyal telkomsel, saya juga ikut tenggelam menjadi bagian dari
masyarakat Jombang yang ramah lingkungan, hal ini lambat laun membuat saya
jatuh cuuuintaaaa puuuooll kepada Juuuoommmbang!!!! Besok, betapa wuuuaaassuu
suuaakitnya saya mau meninggalkan Juoommbang. Kota Rindu. Kota Kenangan. Kota
Wuuaaaneh. Bye.
Post a Comment