Selamat Ulang Tahun, Mojok.co: Sebuah Penebusan Dosa
Saya tidak tahu harus bagaimana memulai tulisan ini. Jari
saya gemetar, otak saya bergetar, dan keyboard laptop saya mendadak brengsek
manja tak mau hidup. Mungkin inilah salah satu bukti tak terbantahkan bahwa
mojok sudah mencapai maqam yang lebih tinggi dalam jagat literasi di Indonesia
sehingga saya, sebagai penulis amatiran, begitu sulit untuk menuliskannya.
Akan tetapi, ada satu alasan panggilan jiwa mengapa saya
harus menulis ini. Saya menyebutnya sebagai penebusan dosa kepada mojok, sebab
situsweb yang baru berumur dua tahun ini menjadi kiblat percopasan blog di
Indonesia. Artikel di mojok memang paling copasable di ranah maya. Jujur, saya adalah salah satu dari sekian ribu orang yang terlibat
langsung di dalamnya. Sehingga alangkah dosanya jika saya tidak menuliskan kata
maaf yang segede-gedenya. Saya takut masuk neraka paling dalam: ditusuk dari
liang anus sampai mulut, dibakar sampai gosong dan disetrika selicin Kispray, apabila
tidak sempat mengucapkan secuil maaf kepada kru dan penulis mojok.
Pertama kali saya berta’aruf dengan mojok, ketika itu saat
dimana semua konten tulisan di berbagai media online begitu serius, saling
menyalahkan, saling mengkafirkan dan saling mengtidakbenarkan menjadi makanan
sehari-hari, ada satu trending topic di twitter yang berkaitan dengan HMI.
Setelah saya telusuri lebih lanjut, ternyata biang kerok dari trending topic
itu artikel dari mojok yang berjudul: Apa Salah HMI kok Dihujat ? tulisan
ciamik ini diciptakan langsung oleh sang Kepala Suku: Puthut EA.
Karena rasa penasaran saya sudah mencapai titik kulminasi,
untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya, saya mengklik situs mojok
dengan sukarela tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Dibaca, dihayati, lho kok
enak ya. Mengalir, pelan, santai, tidak meledak-ledak, beda dengan yang lain.
Demi Allah dan Rasul-Nya setelah membaca satu artikel tentang HMI itu saya
ketagihan membaca artikel-artikel nakal lainnya dari mojok. Sumpah saya mah
nggak bohong. Setiap pagi saat sarapan, saya hampir tak pernah ketinggalan
untuk membaca artikel di mojok.
Saking ngefansnya, saya ngepoin segala hal yang berbau mojok.
Mencari tahu siapa pendirinya, editornya, dan tak lupa stalking para penulis
mojok generasi pertama macam Arman Dhani, Arlian Buana, Eddward S. Kennedy, Windu
Jusuf, Puthut EA, dan Edi AH Iyubenu. Tidak hanya google yang saya jadikan
sebagai alat pencarian informasi, tapi Tuhan sekalipun saya libatkan dalam
setiap doa untuk mencari tahu lebih banyak tentang mojok.
Alhamdulilah, banyak ilmu yang saya dapat setelah berkepo ria
tentang mojok. Memang ilmunya tidak begitu banyak juga sih, tapi setidaknya
ghirah saya dalam membaca terus terejakulasi. Sebab, mereka memang top luar
biasa. Setiap pembahasan yang dituntut untuk serius, ia malah dijadikan ajang
guyonan. Kadang hal yang mungkin bagi sebagian besar orang sepele, malah oleh
mereka diseriuskan.
Setelah saya asyik membaca artikel-artikel centil di mojok, saya
menyimpulkan bahwa model tulisan yang seperti inilah yang akan saya ikuti. Saya
sempat berjanji kepada semesta untuk menjadikan mojok sebagai almamater saya
dalam dunia gaya menulis. Kemudian saya mulai mencoba untuk menulis dengan gaya
mereka yang jenaka dan mempunyai daya ledak joke yang tinggi. Namun, sungguh
terlampau sulit bagi saya yang hina ini. Nilai sastra saya begitu cekak. Nilai
analisis saya begitu tumpul. Jika hanya membuat makalah biasa, mungkin saya
masih bisa. Tapi menulis dengan watak para penulis mojok, terlampau sulit untuk
dilakukan oleh orang biasa manapun saya kira.
Dirasa sudah cukup matang, saya mencoba mengirimkan artikel
ke mojok. Anda boleh tanya ke Pimpinan Redaksi, entah duapuluh artikel saya
tulis dengan menyempatkan waktu dari kesibukan kampus, saya kirimkan ke meja
redaksi Mojok. Semuanya ditolak dengan alasan belum berjodoh. Padahal kalau
kalian tahu, saya nulis artikel-artikel untuk mojok itu dari pukul sembilan
malam sampai pukul tiga pagi dini hari. Andaikan saya nulis skripsi serajin
itu, mungkin bulan Oktober nanti saya sudah bergelar sarjana!
Setelah saya evaluasi, ternyata saya berhak dan benar untuk
ditolak. Secara konten, artikel saya memang menawarkan hal yang mainstream,
tulisan saya pun acak-adut tidak karuan, serta nilai sastra-humor saya begitu
garing. Selain itu, saya mengakui bahwa waktu itu hanya kebelet gengsi
ketimbang memberikan kontribusi. Sebab menjadi bagian dari lingkaran penulis
mojok adalah kebanggaan yang patut dirayakan oleh air mata dan lantai dansa.
Saya kemudian evaluasi besar-besaran, dan menunggu momen yang
pas agar diterima lolos publish di situs mojok, akhirnya satu-satunya artikel
saya yang terbit pada tanggal 8 Februari 2016 dengan judul: Roket Kim Jong Un
dan Murka Para Pecinta One Piece. Sungguh, ketika melihat artikel saya
nangkring di mojok, mata saya seolah mampu melihat wajah Tuhan yang
sesungguhnya. Itulah.. Itulah satu-satunya artikel saya di mojok.
Satu lagi yang perlu saya sampaikan. Lantaran sering banget
kirim artikel ke mojok kemudian ditolak mentah-mentah, saya kumpulkan artikel-artikel
itu. Dan alhamulilah saya resmi menjadi penulis, sebab artikel-artikel yang
ditolak oleh mojok itu saya kirim ke penerbit dan sekarang menjadi sebuah buku kumpulan
artikel yang berjudul: Santri Postmodern.
Karena itu, selain saya harus meminta maaf kepada mojok
karena beberapa kata atau ide kadangkala saya copas tanpa menyebutkan penulis
dan sumbernya, saya juga berkewajiban untuk mengangkat topi yang tinggi sebagai
ucapan terima kasih. Sebab, karena mojok-lah yang menjadi sumbu motivatif saya
dalam hal menulis.
Atasnama maaf dan terimakasih, saya ucapkan selamat ulang
tahun yang kedua untuk mojok.co. semoga menjadi situs yang mantap dan tidak
lagi menjadi antek freepot! :D
Maaf lagi ya, saya mau copas ucapan Kak Agus Mulyadi yang,
kurang lebih, tepat satu tahun yang lalu: Eh, btw, bisa kali honorarium buat
penulisnya ditambah… Hehe. Hehe. Hehehehehehehe.
Post a Comment