Dejavu Ponpes Miftahul Ulum



Melihat beberapa potongan video muhadlarah di Pondok Pesantren Miftahul Ulum, suasana batin seolah throwback mengingat masa masa-masa jadi santri di ponpes yang terletak di kampung Nagrak kecamatan cibiuk, Garut itu.

Tidak seperti pondok pesantren pada umumnya, Miftahul Ulum secara teritorial dikepung oleh perumahan penduduk yang jauh dari hiruk-pikuk jalanan raya. Letaknya yang berada di tengah-tengah kampung membuat pesantren ini hanya digandrungi oleh penduduk setempat.

Namun kabar baiknya keberadaan pesantren ini bisa dibilang cukup sukses menghambat laju pergaulan bebas di antara kaula remaja di kampung Nagrak. Seluruh elemen masyarakat merasa memiliki dengan pesantren ini sehingga banyak di antara mereka yang menitipkan anaknya untuk memperdalam ilmu agama. Orangtua seolah “merelakan” sepenuhnya pada pengelola dan pengurus pesantren bilamana anak-anaknya melanggar peraturan.

Betis saya pernah dihantam bamboo hingga kulitnya membiru dan melepuh. Beberapa kawan bahkan ada yang sampai menangis menahan perihnya hukuman dari pengurus. Tapi tidak sedikit pula santri yang secara diam-diam melakukan trik-trik licik untuk lolos dari jerat hukuman. Semua kenangan-kenangan itu kalau dibayangkan sekarang cukup lucu, kadang saya menertawai diri sendiri.

Prosesi masuk ke pesantren ini pun seolah memiliki mekanismenya sendiri yang cukup khas dan unik. Yaitu, bagi seorang anak yang telah duduk di kelas enam SD, ‘lulus’ di sekolah agama (kami menyebutnya Sakolagama) dan cukup piawai baca Quran, maka disarankan untuk masuk ke jenjang pendidikan agama selanjutnya, yaitu mondok di Mifthul Ulum. Dalam beberapa kasus malah ada yang mondok sedari kelas lima SD. Kelas lima SD sudah berani mondok itu suatu capaian yang berani dan prestasi tersendiri.

Terlihat jelas kampong Nagrak merupakan salah satu pemukiman penduduk yang paling religious di Indonesia. Perhatikan, sejak kecil (SD) diarahkan untuk mengkaji agama. Bila di pagi hari sampai siang diisi dengan sekolah, sementara siang hari (entah sampai sekarang) sekolah agama, dan di petang setelah shalat maghrib belajar baca Qur’an. Kegiatan tersebut berlangsung sudah sejak lama hingga sampai sekarang masih rutin dijalankan.

Nah, puncak dari seluruh rangkaian belajar agama adalah menjadi santri di pondok pesantren Miftahul Ulum. Jadi, bila di sekolah agama hanya belajar tentang rukun Iman dan rukun Islam, maka setelah menjadi santri bobot pelajarannya ditambah, yaitu belajar nahwu, sharaf, hadist bahkan ilmu falaq (sebelum alm Ust. Asep wafat, semoga Allah menerima setiap amalannya, namun untuk saat ini belum ada jua penggantinya). Karena itu bolehlah dikatakan Miftahul Ulum ini sebagai pesantren kultural bagi masyarakat kampung Nagrak.

Keunikan lainnya dari pondok pesantren Miftahul Ulum ini adalah letaknya yang berada di tengah pemukiman penduduk membuat para santri harus ekstra keras menahan godaan untuk tidak tidur ke rumah. Memang mereka memiliki keistimewaan khusus yaitu di siang hari boleh hilir-mudik, tetapi untuk kegiatan dan istirahat malam semua santri diwajibkan untuk tidur di asrama. Kadang ada yang pura-pura sakit untuk sekedar dapat nonton Persib atau karena ada kepentingan lainnya. Intinya mereka tidak sakit, hanya pura-pura belaka.

Porsi yang izin karena sakit biasanya membludak saat “pengadilan” di malam jumat tiba. Di malam itu dosa kita seolah dihitung. Hukumannya seberat dosa yang telah dilakukan selama satu minggu ke belakang. Kalau dosanya tidak terlalu banyak, maka cukup satu pukulan telak di betis. Namun bagi santri yang penuh dosa, boleh jadi betisnya sampai esok subuh masih merengek kesakitan.

Oh ya, di Miftahul Ulum juga untuk pertama kalinya dalam sejarah saya berani berpidato di depan orang banyak. Itu kompetisi mingguan. Pesertanya disetarakan dengan teman sekelas. Alhamdulilah debut lomba pidato itu saya juara satu. Di usia 11 tahun cukup mencengangkan sebab tema yang diangkat tidak tanggung-tanggung: Ilmu Tauhid.

Yah, karena isi teks pidato tersebut ditulis oleh bibi saya: Bi Nani (Neng Nani). Terus dihafal hahaha. Soal isi ketika itu saya blas tak paham.

Curhatnya malah kepanjangan hahaa…

Saya sendiri cukup beruntung bisa belajar di pesantren Miftahul Ulum. Di bawah pimpinan KH. Maman Suryaman, saya belajar jurumiyah hingga hafal seluruh isinya (itu dulu, sekarang ndak). Ah, banyak sekali ilmu yang didapat, utamanya dari petuah-petuah KH. Maman.

Andaikan waktu dapat terulang lagi ketika saya membetulkan peci hitam pemberian bapak saya, mungkin saya akan betul-betul mengaji. Tapi yah mau gimana lagi yah pemirsa.

No comments