Metode Menjawab Fatwa



Senang rasanya semalam PUTM kedatangan tamu spesyel ustadz kece masa kini: ust. Niki (selanjutnya ust. Alma). Agaknya, di malam itu terlalu agung untuk memohon petunjuk hidup yang oportunistik kepada seorang pembaca teks langit yang adihulung seperti beliau. Karena itulah kami mengundangnya untuk menyampaikan kajian tentang metode menjawab fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, sebab thalabah semester lima PUTM memang telah diberi tugas menjawab beberapa pertanyaan dari mustafti, sehingga kami butuh orang yang berkompeten untuk mengisi kajian tersebut.

PUTM memang tidak salah menunjuk ust. Alma mengisi kajian tersebut selain karena berkompeten di bidang ketarjihan, juga setiap pernyataannya selalu memancing gairah untuk berpikir. Dalam kajiannya beliau menyampaikan bahwa penulisan fatwa harus memiliki tiga komponen dasar, yaitu: penanya (mustafti), penjawab (mufti), dan jawaban (fatwa). Apabila salah satu dari kompenen dasar itu tidak ada, maka sebuah fatwa tidak akan dapat lahir. Menurut ust Alma, sifat fatwa hanya mengikat untuk orang yang bertanya, tetapi bisa saja mengikat kepada orang lain apabila memiliki persoalan yang serupa.

Majelis Tarjih Muhammadiyah sebagai divisi yang membidani masalah-masalah sosial-keagamaan paham betul bahwa fatwa merupakan titik temu antara teori hukum dengan praktek sosial. Sehingga menurut ust. Alma, teknis dalam menjawab fatwa jangan terlalu legalistik-formalistik, tetapi dengan bahasa dialogis yang dibumbui dengan narasi edukatif, tujuannya agar masyarakat dapat membaca sebuah fatwa dengan rasa nyaman, tenang, dan solutif.

Selain itu, karena fatwa yang dikeluarkan kebanyakan memuat suatu hukum yang berbasis pada realitas kongkret, maka sebisa mungkin dalam menjawab fatwa hindari kata-kata provokatif seperti “Islam tidak pernah mengajarkan...” atau “Nabi Muhammad tidak pernah mencontohkan...”. Kata-kata seperti itu mungkin saja dapat diterima secara bayani dan burhani, tetapi sungguh samasekali tidak memiliki bobot irfani. Karena itulah menurut ust. Alma, sikap ‘hitam-putih’ jangan terlalu ditonjolkan walaupun saat berbicara hukum, sebab tidak memberikan edukasi bagi masyarakat. Ust. Alma menegaskan bahwa praktek "santun" inilah yang menjadi keunggulan Majelis Tarjih dibanding lembaga fatwa lainnya.

Selama satu setengah jam penuh saya mendengarkan isi kajian beliau. Tidak ada satu menit pun yang tidak berharga dari penyampaiannya. Maka tidak berlebihan bila kita melantik beliau selain sebagai ustadz kece masa kini tetapi juga sebagai ustadz gaul idola sejuta remaja. Bahasan fatwa saja kita dibikin baper bukan main, apalagi bahas nikah muda!


No comments