Sejarah Kedekatan Muhammadiyah dengan Ahmadiyah
Gerakan Ahmadiyah didirikan pada
tahun 1898 oleh Mirza Ghulam Ahmad di Qadian (Qadiyan) Punjab India. Mirza
Ghulam lahir pada tahun 1835 dan meninggal 1908. Riwayat lain menyebutkan bahwa
Mirza lahir tahun 1839 di sebuah kota kecil yang bernama Qadian di negara
bagian Punjab, India Selatan.[1] Pada tahun
1889, Ahmad menyatakan dirinya sebagai mesias, yang menerima wahyu ilahi untuk
restorasi dunia. Setelah pendirinya wafat pada tahun 1908, Jema’ah Ahmadiyah
dipimpin oleh Hakim Nuruddin sampai tahun 1914. Sepeninggal Hakim Nuruddin,
Ahmadiyah pecah menjadi dua golongan, yaitu Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah
Lahore. Walau dalam beberapa aspek ada perbedaan seperti Ahmadiyah Qadian
menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, sedangkan Ahmadiyah Lahore
menganggap beliau sebagai mujaddid atau pembaharu, tapi keduanya sama-sama
bersepakat meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih dan al-Mahdi yang
telah dijanjikan Nabi Muhammad SAW.[2]
Misionaris Ahmadiyah pertama kali
melakukan kontak dengan orang Indonesia pada tahun 1920 ketika Khwaja
Kamal-ud-Din, salah satu pemimpin Ahmadiyah Lahore dan salah satu misionaris
paling sukses dari kelompok ini, datang ke Surabaya dan tinggal di sana sampai
1921.[3] Muhammadiyah
termasuk kelompok pertama yang langsung berhubungan dengan Ahmadiyah ketika
masuk ke Indonesia pada tahun 1920-an di Minangkabau dan Yogyakarta.[4] Pada tahun
1924, dua orang utusan Lahore datang ke Yogyakarta, yaitu Maulana Ahmad dan
Mirza Ali Ahmad Baig. Akan tetapi, Maulana Ahmad segera kembali ke India karena
alasan kesehatan, sementara Baig memulai misinya di Jawa dan mempertahankan
kontak yang sangat baik dengan para elitis Muhammadiyah. Kelancarannya dalam
bahasa Arab dan Inggris, bersama dengan minatnya dalam menguasai bahasa
Indonesia, serta pengetahuannya yang luas dalam studi Islam, membuatnya sangat
populer di kalangan pemuda. Bahkan menurut Ismatu Ropi, Baig pernah menjadi
pembicara dalam diskusi internal Muhammadiyah.[5]
Awal perkembangan Ahmadiyah di
Indonesia justru mendapat respon positif dari Muhammadiyah, sebab menurut
Herman L. Beck keduanya memiliki perjuangan yang sama, yaitu: memurnikan iman dan memodernkan Islam (purifying
the faith and modernizing Islam). Dalam bidang pendidikan, pandangan umum
ketika itu Ahmadiyah dikenal baik karena dianggap telah berhasil mengembangkan sistem pendidikan Islam yang kompatibel dengan pendidikan Barat modern.
Lebih-lebih pada masa itu, Ahmadiyah juga anti terhadap penyebaran agama
Kristen yang dibawa oleh para misionaris titipan kolonialis Belanda.[6] Adanya kesamaan misi dan prinsip inilah yang membuat Muhammadiyah dan
Ahmadiyah memiliki hubungan yang cukup baik.
Hubungan Ahmadiyah dengan
Muhammadiyah terus membaik, hal tersebut disinyalir karena dua faktor: pertama, Ahmadiyah menyembunyikan
doktrin utama mereka, yaitu: adanya Nabi setelah Nabi Muhammad, dan kedua, Muhammadiyah sendiri tidak
menganilisis watak teologis gerakan Ahmadiyah secara mendalam. Menurut Herman
L. Beck, doktrin teologis Ahmadiyah baru terbongkar setelah dikritik oleh Ki
Bagus Hadikusuma. Selain itu pada tahun 1926, Hadji Rasul memberikan kritik
cukup mendalam terhadap Mirza Ali Ahmad Baig terkait doktrin-doktrin Ahmadiyah
yang mulai terbuka menyebarkan paham teologisnya. Pasca mendapatkan kritik
tajam dari tokoh Muhammadiyah tersebut, Mirza Ali Ahmad Baig, utusan Ahmadiyah
di Indonesia dari Lahore, dipaksa meninggalkan Yogyakarta.[7]
Pada 5 Juli 1928, Dewan Pusat
Muhammadiyah mengeluarkan deklarasi resmi yang dikirim ke semua cabangnya.
Salah satu pesannya adalah larangan menyebarkan pengetahuan atau pandangan apa
pun dari Ahmadiyah. Dengan tegas surat itu berisi agar menolak ajaran
Ahmadiyah, atau jika tidak, maka harus meninggalkan organisasi Muhammadiyah.
Tahun 1929 saat kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo yang disarankan Majelis
Tarjih untuk menyatakan dengan tegas bahwa siapa pun yang meyakini adanya Nabi
setelah Nabi Muhammad, statusnya kafir.[8] Walau pun
penyebutan fatwa tersebut tidak secara eksplisit menunjuk ke suatu golongan,
tidak ada keraguan di antara kaum muslimin kalau resolusi itu menunjuk ke sekte
Ahmadiyah secara umum. Ketika tersiar berita bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah
menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat, maka 10 santri yang sebelumnya dikirim
Muhammadiyah ke Lahore untuk belajar Agama kembali ditarik pulang ke Indonesia.[9]
Di sanalah signifikasi peran
majelis Tarjih dalam tubuh Muhammadiyah untuk senantiasa menjaga aqidah dari
doktrin-doktrin yang menyimpang dari ajaran Islam. Selain itu penting untuk
dicatat, putusan-putusan yang dihasilkan dari Majelis Tarjih tidak pernah
menghakimi satu golongan secara terbuka dan membabi-buta, tetapi dengan
menyatakan sebuah sikap tegas tanpa harus menyebut atau menunjuk batang hidung
seseorang atau golongan tertentu. Inilah letak keistimewaan Majelis Tarjih
dibanding lembaga fatwa lainnya; tidak hanya berisi analisis mengenai argumen
dan penalaran hukum belaka, melainkan di dalamnya juga terdapat pembicaraan
mengenai logika formal, teori linguistik, dan elemen intuitif berupa akhlak
yang baik dan spiritualitas.
[1] Nunu Burhanuddin, “Gerakan
Sempalan Ahmadiyah: Dari Fenomena Urban Keagamaan Reformis ke
Messianis-Introversionis”, dalam Islam Realitas:
Journal of Islamic & Social Studies, Vol. 1, No.2, 2015, hlm. 147
[2] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia,
(Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 40-41.
[3] Ahmad Najib Burhani, “Treating
minorities with fatwas: a study of the Ahmadiyya community in Indonesia”, Contemporary Islam, vol. 8, no. 3, 2013,
hlm. 292.
[4] Mutahharun Jinan, “Liminalitas
Muhammadiyah Dalam Berbangsa”, dalam Tajdida,
Vol. 11, No. 2, 2013, hlm. 134.
[5] Ismatu Ropi, “Islamism,
Government Regulation, and the Ahmadiyah Controversies”, dalam Al-Jami‘ah, Vol. 48, No. 2, 2010, hlm.
287-288.
[6] Herman L. Beck, “The rupture of
the Muhammadiyah with the Ahmadiyya”, dalam Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 161-2/3, 2005, hlm. 240.
[7] Herman L. Beck, “The rupture...
hlm. 231 dan 240-241.
[8] Ahmad Najib Burhani, “Treating
minorities with fatwas: a study of the Ahmadiyya community in Indonesia”, Contemporary Islam, vol. 8, no. 3, 2013,
hlm. 291-292.
[9] Mutahharun Jinan, “Liminalitas
Muhammadiyah Dalam Berbangsa”... hlm. 134-135.
Post a Comment