Kebangkitan Ulama, Kemunduran Umat
Memang tidak bijak bila menilai kemunduran suatu
peradaban hanya dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Kita tahu bahwa peradaban
adalah sebuah organisme yang sistemik, maka pasang-surutnya suatu peradaban
juga bersifat universal. Akan tetapi dalam pandangan Ibnu khaldun, kehancuran utama
suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik
secara intelektual maupun moral.
Apa yang disampaikan Ibnu Khaldun semakin
jelas memiliki sumbu parallel dengan kemunduran peradaban Islam pada era
pertengahan. Sejarawan telah sepakat bahwa faktor kemunduran peradaban Islam
salah satunya adalah disebabkan oleh adanya konflik aliran pemikiran (fiqh) berupa
fanatik mazhab yang sering berakhir dengan konflik berdarah.
Salah satu yang menjadi sasaran cercaan
adalah al-Ghazali. Ahmad Kholili
Hasib menyebutkan bahwa seorang pemuda yang bernama Ali bin Yusuf bin Tasyfin
pernah membakar kitab-kitab karya imam al-Ghazali karena dianggap
bertententangan dengan Islam.
Padahal ketika itu ulama-ulama top sedang
massif menyusun kitab-kitab babon yang bermuatan hukum. Hanya saja yang
disesali oleh al-Sirjani, sejarawan muslim, adalah kecenderungan ulama ketika
itu, utamanya fuqaha, terlalu sibuk telibat aktif dengan persoalan furuiyah
daripada problem konkret umat. Hal inilah yang menjadi faktor utama lahirnya
fanatisme madzhab dalam komunitas umat Islam ketika itu.
Ucapan-ucapan yang berkonotasi fanatik-provokatif seringkali
kita jumpai dari kalangan ahli fanatik madzhab, bahkan tidak jarang di antara
mereka sangat keterlaluan dalam menjunjung tinggi imamnya, memperjuangkan
madzhabnya. Hal ini seolah menyiratkan pesan aneh: Ketika ulama naik daun, umatnya
justru terjun payung.
Dalam konteks Indonesia saat ini, peran
ulama begitu penting dalam dinamika masyarakat untuk menciptakan tatanan ruang
yang lebih Islami. Mengingatkan umat pada batas-batas yang dibolehkan dan yang
dilarang. Saya mengapresiasi akhir-akhir ini para ulama produktif meluncurkan
fatwa-fatwa yang kontekstual dan aplikatif, tapi yang aneh ialah ujung-ujungnya
pasti haram. Ulama-ulama ini sibuk dengan persoalan furuiyah, sama seperti
ulama-ulama klasik dulu yang banyak melahirkan benih-benih fanatisme.
Benih fanatisme terhadap ulama yang
dilakukan oleh umat Islam Indonesia mulai terbentuk saat kasus penistaan agama
oleh Ahok beberapa waktu silam. Dalam konteks ini saya melihat ulama terpecah
menjadi dua bagian yang saling bertolak belakang hanya karena masalah furu’. Pertama, memfatwa Ahok telah menista Islam dan para ulama. Kedua, Ahok tidak melakukan penistaan,
hanya menyesalkan politisasi ayat yang kerap ditautkan kepada dirinya.
Dari kedua pandangan ini ternyata memiliki
dampak dan pengaruh terhadap fatwa-fatwa lainnya. Misalnya tafsir al-Maidah
ayat 51 tentang kata ‘wali’ yang jamaknya ‘awliya’. Kata ini begitu sensitive
bagi sebagian muslimin yang ikut terlibat aktif dalam festival demokrasi di DKI
Jakarta, sebab kata ini bisa dijadikan legitimasi maupun delegitimasi teologis
untuk memilih non-muslim sebagai pemimpin.
Pandangan pertama yang diketuai oleh Habib
Rizieq menganggap bahwa kata ‘awliya’ memiliki arti ‘Pemimpin’. Sehingga pada
kesimpulannya haram memilih atau menjadikan non muslim sebagai pemimpin. Sementara
menurut golongan lain yang dikomandoi oleh Quraisy Shihab berpendapat bahwa
kata itu maknanya ‘teman dekat’. Karena itu non muslim boleh menjadi pemimpin.
Selain itu, fatwa tentang hukum shalat jumat
di luar masjid. Pendapat pertama datang dari Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnaen,
ia menilai shalat jumat di lapang itu sah, mengingat hadist Nabi yang
menegaskan bahwa “Semua
tempat di bumi ini adalah masjid kecuali kamar mandi dan kuburan. Sementara
menurut Ketua Umum PB NU, Said Aqil Siradj, menganggap bahwa shalat jumat di
lapang itu tidak sah, karena jumatan harus di dalam bangunan yang sudah diniati
untuk shalat Jumat di sebuah kota atau desa.
Melihat fenomena yang melahirkan dua
pendulum besar ini, saya terharu karena ulama di Indonesia sudah mulai berani
untuk berdialektika secara akademis, yaa walaupun kesan politis juga terlihat
jelas, namun setidaknya budaya diskusi seperti ini bisa kita lestarikan sebagai
penanda awal dari kebangkitan ulama Indonesia.
Namun sayangnya kebangkitan ulama ini tidak
dibarengi dengan kebangkitan umat. Fenomena fanatik terhadap ulama sangat nyata
terpampang tak terelakkan saat ini, baik dalam lembaran media cetak dan social
media maupun dalam fakta kehidupan. Muatannya sesak dengan saling
tuding-menuding, menghujat, dan mencela satu sama lain sehingga memasung satu
pendapat dan mengukir satu pendapat.
Mereka berkoar agar manusia hanya mengikuti
ulama yang diikutinya, mencoreng habis ulama selain ulama yang dipercainya
benar, serta berusaha sekuat tenaga menjatuhkan kedudukan lawannya. Habib Rizieq
dihina, Said Aqil dicela, Quraisy Shihab dilecehkan, dan Bachtiar Nasir
difitnah. Kita sekarang hidup dimana ulamanya bangkit, umatnya terjungkit.
Hal yang demikian seringkali terjadi di
dunia Islam. Ketika ulama mulai bergerak untuk maju dan produktif, seringkali
ada umat yang mematungnya menjadi berhala yang maksum untuk disentuh atau
dibantah, sehingga ketika ada satu golongan yang bersebrangan dengan pandangan
ulamanya, umumnya mereka menyiapkan meme untuk merendahkan dan menghinakan
ulama yang berbeda pandangan. Kepada Buya Syafi’I, Nusron Wahid, Tengku
Zulkarnaen, Ma’ruf Amin dan lain-lain.
Biarkanlah ulama Indonesia menunjukan
taringnya bahwa mereka juga bisa beradu argument secara akademik tanpa dengan
balutan stigma kafir-bidah, karenanya mohon kepada umat pengikut jejak
langkahnya untuk tidak ikut naik pitam hanya karena berbeda corak berpikir.
Itu saja dari aku buat kamu yang lagi sebel…
Pertama kali terbit tanggal 18 Desember 2016
di Bangor.in
Post a Comment