Sensasi Magis Makan Cabe
Harga cabe yang seringkali tak menentu, sedikit-banyak telah
memberikan informasi kepada kita bahwa cabe adalah ketua umum dari sekian
banyak anggota bumbu-bumu dapur. Apalah artinya dapur tanpa cabe. Boleh saja
harga cabe kadangkala tidak konsisten, tapi rasa pedas yang abadi adalah
karomah yang diberikan Tuhan kepada tanaman satu ini, karenanya, cabe tanpa
rasa pedas itu contradictio in terminis.
Akan tetapi sayangnya di masyarakat kampung yang tradisional
maupun masyarakat perkotaan yang modern, citara dasar dari cabe yang pedas ini
seringkali tidak mendapat apresiasi. Pernah sesekali ibu saya menyanjung tinggi
cabe di atas semua golongan bumbu dapur, namun setelah itu ia lupa lagi. Huft.
Padahal, sensasi pedas merupakan nilai magis yang terkandung
dalam cabe. Serat pedas inilah yang dapat membikin lidah bergoyang asyik
bersama irama air liur yang membasahi kerongkong mulut. Namun cabe tidak dapat
berdiri sendiri. Agar nilai magis dari serat pedas itu nampak keluar, cabe harus
berkoalisi dengan materi lain. Dengan tahu bulat misalnya.
Sebabnya anda harus paham, seberapapun kremesnya lauk pauk
sebagai teman dari sepiring nasi, takan mungkin mendapat kegurihan yang hakiki
bila tak ada cabe sebagai instrument penyedap rasa yang paling alami.
Saya pernah mendapati teman saya makan bakso yang dibumbui
sambal cabe. Di menit-menit pertama dia masih kuat melahap kuah bakso yang
terhampar di mangkok putih. Kemudian di menit selanjutnya, lidahnya mulai leleh
merasakan buih-buih pedas tanda kenikmatan yang fana. Dan di menit akhir, saya
melihat keringat dari kelenjar kulitnya keluar dengan damai, serta lidahnya
menjulur keluar seolah ingin berkata, “Sedaap pisan euy!”
Dari sana saya melihat cabe sudah seperti jalan spiritual
menuju kebahagiaan. Orang yang sudah merasakan buih-buih pedas dalam cabe akan
merasakan apa yang al-Ghazali sebut sebagai ‘al-kasyaf’, atau ketersingkapan,
bahwa ternyata pedas merupakan salah satu jalan penderitaan yang akan bermuara
dalam kepuasan batin.
Selain itu, saya tahu cabe memiliki berbagai macam karakter
yang berbeda-beda, dilihat dari tingkat rasa kepedasan, bentuk dan warna kulit.
Cabe gendot, misalnya, dikenal sebagai cabe
paling pedas, aromanya merupakan perpaduan yang khas antara buah dan bunga, warna
kulinya bervariasi, ada warna hijau, kuning, orange terang dan orange yang
tidak terang. Oleh ibu
saya, di tatar sunda, cabe gendot sering dimasak
dalam berbagai macam tumis-tumisan, juga hidangan pedas lainnya.
Ada pula cabe merah. Bentuknya seringkali prematur, ada yang
runcing mengerucut, ada pula yang membulat. Kulitnya tebal, tapi rasanya kurang
pedas. Umumnya cabe ini sering digunakan sebagai bahan baku aneka sambal, saus, dan
sebagai campuran masakan yang tidak terlalu pedas lainnya. Sebagai teman makan
gorengan misalnya.
Ada lagi cabe keriting. Bentuknya
keriting, kurus, loyo, panjang, hidup lagi! Warna kulit dari cabe keriting ini
ada yang merah dan hijau. Ukurannya lebih kecil daripada cabe yang besar
(Yaiyalah!). Cabe ini sering digunakan
dalam masakan Padang, khususnya rendang atau kalio. Digunakan juga dalam
masakan kari, cabe bubuk, bumbu balado, rica-rica dan lain-lain.
Dari beberapa contoh yang telah saya sebutkan di atas telah
memberikan penerangan bahwa ternyata cabe memiliki tingkat kepedasan yang
berbeda satu sama lain, strukturnya pun bervariatif, dan warna kulitnya yang
bermacam-macam. Antara cabe yang pedas dengan yang kurang pedas juga memiliki
fungsi masing-masing yang berbeda.
Akan tetapi perlu ditekankan bahwa saya samasekali tak
mempersoalkan cabe mana yang paling pedas, dan mana yang kurang pedas. Karena
saya berusaha menghormati hak kekayaan cabe yang memiliki hierarki rasa
pedasnya tersendiri.
Bahwa cabe rawit adalah yang paling pedas, dan cabe-c*bean
merupakan sosok yang paling gurih, itu sah-sah saja. Lebih baik saling
menghormati. Tidak saling ‘memaniskan’ antar cabe. Memang kewibawaan cabe
terletak dari kepedasannya, tapi perlu diingat semboyan mereka adalah Bhineka
tunggal cabe. Walaupun berbeda-beda, tetap satu pedas!
Tidak perlu bersikap fasis hanya lantaran tidak terlalu
pedas, atau bentuk fisiknya yang buruk. Sebab kepedasan dan fisik tidak lebih
dari sekedar warisan orangtuanya. Jadi kalau hari ini masih meributkan
persoalan cabe mana yang paling pedas, diiringi dengan tudingan bahwa cabe yang
lain lebih manis, itu artinya anda sekalian sedang meributkan warisan.
Dan perlu anda ketahui pula, cabe itu seperti manusia hari
ini: memiliki tingkat strata sosial. Artinya, terlepas dari segi kepedasan,
struktur bentuk dan warna dari cabe, bahwa ternyata cabe ada yang mahal. Ada
pula yang murah. Yang mahal tentu saja untuk si kaya. Dan yang murah ditetapkan
untuk si kelas menengah. Sementara untuk si miskin, cukup dikasih cabe-c*bean!
Post a Comment