Gafatar dan Doktrin
Hujan rintik mengundang naluri untuk keluar kamar mencicipi
bakso yang sudah terparkir di halaman. Suasana dingin seperti ini sangat cocok
untuk memikirkan sebuah ide dan gagasan. Namun, perhatian saya berubah objek
dari memikirkan gagasan kepada sebuah headline
dari Koran Kedaulatan Rakyat edisi Rabu 20/01. Isinya cukup serius: Permukian
Gafatar Dibakar, Ratusan Warga Dievakuasi.
Dalam Koran itu disebutkan bahwa ada ratusan eks anggota
Gafatar yang menetap di permukiman Moton Panjang, Kab. Mempawah, Prov. Kalbar
selasa siang (19/01) mulai dievakuasi ke Kota Pontianak, untuk selanjutnya
dipulangkan ke daerah masing-masing. Evakuasi terhadap korban kebakaran ini
berlangsung dramatis karena disertai kepulan asap hitam pekat. Namun
beruntungnya polisi sigap mengevakuasi eks anggota Gafatar itu dengan
menggunakan mobil Dalmas mereka.
Fakta lain yang membuat saya tercengang selain kediaman eks
anggota Gafatar dibakar adalah, umumnya warga eks Gafatar itu berasal dari
pulau Jawa. Di dalam Koran itu disebutkan bahwa ada sekitar 79 orang yang
hilang. Saya tidak mengerti, doktrin apa yang dipakai oleh Gafatar kepada
korbannya sehingga mereka yang bermukim di pulau Jawa sekali pun, berani untuk
bereksodus menyebrang melewati lautan menuju pulau Kalimantan.
Setidaknya di dalam Koran itu ada dua fakta:
Pertama, kediaman Gafatar dibakar. Menurut
MUI, disinyalir Gatafar adalah pecahan dari Al-Qiyadah Al-Islamiyah milik Ahmad
Musadeq yang pernah dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun karena kasus
penodaan Agama, ia mengaku sebagai Nabi terakhir. Karena itulah, MUI
mengeluarkan fatwa sesat kepada organisasi ini.
Dari sana kemudian saya menduga, penyebab dari dibakarnya
permukiman Gafatar adalah kebijakan Negara dan fatwa MUI. Negara mengeluarkan
surat resmi bahwa Gafatar dilarang berkembang di Indonesia, kemudian diperkuat
oleh fatwa MUI. Hal inilah yang menurut saya menjadi penyebab utama dari
dibakarnya permukiman Gafatar. Sebab, ketika menurut hukum positif dilarang,
kemudian dikuatkan oleh fatwa MUI, maka masyarakat sekitar seakan mempunyai “dalil”
akan pembakaran permukiman itu.
Saya tidak mengatakan bahwa “mastermind” di balik pembakaran
permukiman eks Gafatar adalah Negara dan MUI, hanya saja dengan adanya
pelarangan secara hukum positif dari Negara dan hukum Syariah dari MUI, maka
masyarakat seakan menjadi hakim sendiri dalam “nahyi mungkar” dan memandang hal
ini sebagai jihad melawan kebathilan. Dengan kata lain, pelarangan Gafatar dari
MUI dan Negara menjadi “provokator” utama dalam insiden yang berlangsung di
Kalimantan Barat ini.
Inilah cara yang salah dari masyarakat dalam menyikapi
kemungkaran. Nahyil mungkar dipraktekan
dengan kemungkaran. Seharusnya kemungkaran dihilangkan dengan cara yang ma’ruf bukan dengan kemungkaran yang
baru. Jika dengan kemungkaran lagi, maka rentetan kemungkaran akan tetap ada
dan itu merugikan umat Islam sebagai sebuah agama dan merugikan Indonesia
sebagai sebuah bangsa. Sebab, nahyil
mungkar dengan kemungkaran tidak dapat diterima secara konstitusi maupun
syariah.
Tidakkah mereka berpikir bahwa korban dari pembakaran
permukiman eks Gafatar ini adalah anak-anak, ibu-ibu bahkan ada yang sedang
hamil. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana ketakutannya mereka menerima
semacam ini. Api melahap rumah, kepulan asap hitam berterbangan ke langit,
jeritan suara anak manusia, tangisan seorang ibu hamil, kepanikan yang hebat
tentu akan dirasakan oleh semua korban.
Kedua, umumnya korban dari pembakaran itu
adalah warga Jawa. Di dalam visi dan misi Gafatar disebutkan bahwa mereka
adalah organisasi yang bergerak pada kemandirian pangan atau bakti sosial. Bahkan
menurut ketua umum sekaligus pendiri dari organisasi ini, Mahful Tumanurung, Gafatar
takan pernah berevolusi menjadi sebuah gerakan partai politik. Lebih dari itu,
mereka juga tidak mengakui bahwa Gafatar adalah gerakan keagamaan.
Dalam insiden pembakaran itu, kebanyakan eks anggota Gafatar
adalah berasal dari pulau Jawa. Bagaimana bisa, ribuan warga yang tinggal di
pulau Jawa berani untuk meninggalkan rumah, kampus dan sekolah kemudian
berlayar ke Kalimantan ? Saya menduga gerakan Gafatar ini “semi-religius”. Hanya
dengan agama, orang dapat dengan mudah tersihir, yang dibalut oleh kegiatan
sosial seperti pengobatan dan bakti sosial yang diminati oleh warga. Sempurna!
Jadi, pola gerakan ini ada dua: atasnama “sosial-ekonomi” dan
gerakan “semi-religius”. Tentu saja hal ini sangat efektif untuk mendapatkan
dukungan di tengah carut-marutnya perekonomian kita. Faktor ekonomi menjadi
alasan utama mereka berangkat menuju ke Kalimantan yang ditambah dengan “hipnotis”
ala Agama. Maka tidak heran jika mereka berani untuk berangkat kesana karena
memang dorongan ekonomi yang diperkuat oleh doktrin keagamaan yang mengikat.
Selain itu, sepertinya dalam “ajaran” meraka ada yang namanya
hijrah atau eksodus dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini bisa ditelaah
dari banyaknya warga pulau Jawa yang berenang ke Kalimantan tanpa memperdulikan
keluarga dan kerabat. Saya kira Gafatar mampu menghipnotis “targetnya” dengan
sangat baik. Biasanya yang seperti ini mempunyai gagasan yang sederhana namun
memikat sehingga tampak anggun bila dilihat.
Jika gagasan mereka tentang pangan dan bakti sosial yang “fashionable”
dapat menyihir setiap orang untuk bergabung, maka doktrin mereka tentang eksodus/hijrah
yang berasal dari “semi-religius” dapat membuat anggotanya begitu loyal
terhadap organisasi dan pemimpinnya. Perpaduan antara alasan ekonomi dan agama
menghasilkan pengikut yang berloyalitas, fanatic dan mengerjakan setiap apa
yang dikatakan oleh pemimpinnya. One command.
Hal ini tampak lebih logis bukan ? hehe
Pesan dari saya adalah kita jadikan kebijakan Negara yang
tertulis dalam surat Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri RI Nomor
220/3657/D/III/2012 dan fatwa haram MUI sebagai pegangan agar tidak terhipnotis
oleh gerakan Gafatar, namun jangan jadikan dua alasan dari produk hukum yang
berbeda ini sebagai legitimasi untuk melakukan kekerasan, sebab bagaimana pun
juga kekerasan tidak bisa dibenarkan oleh kedua produk hukum itu. Sekian dan
terimakasih.
Post a Comment