Guru Ngaji Pertamaku


Ini bukan ria atau sum’ah, saya biasa membaca Quran ba’da shalat maghrib sekitar 15 sampai 20 menit. Saya luangkan waktu itu hanya untuk memenuhi kebutuhan rohani dan spiritual di tengah ketegangan mencari sesuap ilmu di kampus ini. Karena pada dasarnya selain IQ untuk mencari solusi dan EQ untuk menemukan kebahagiaan, manusia juga membutuhkan kecerdasan spiritual atau SQ untuk kebijaksanaan sebagai keseimbangan hidup.

Di tengah baca Quran itu, saya berjumpa dengan kata "WALYATALATTAF" yang ditulis dengan huruf cetak tebal menandakan posisi pertengahan Al-Quran. Berjumpa dengan ayat itu saya kemudian tersenyum geli, pikiran langsung melayang menuju memori ketika saya masih belajar mengaji di sebuah rumah yang nan sederhana.  Saat kecil, saya sangat senang berjumpa dengan QS. Al-Kahfi ayat 19 yang mempunyai arti ‘lemah lembut’ ini, karena memberikan sedikit motivasi agar terus berusaha “Khatam”.

Ingatan saya tentang ayat ini menjurus lebih dalam hingga sampai kepada Guru mengaji di desa, di kampung Nagrak. Namanya Bi Enti. Memang Ayah dan Ibu saya yang pertama kali mengajarkan tulisan Arab, namun almarhumah Bi Enti-lah yang memberikan konstribusi paling banyak dalam mengajarkan saya mengaji hingga bisa lancar seperti sekarang. Entah apa yang harus saya berikan kepada almarhumah, saya berhutang banyak kepada beliau.

Seingat saya, pertama kali mengangkatkan kaki dari rumah menuju kediaman Bi Enti untuk belajar mengaji Qur’an ketika duduk di kelas 1 SD. Belajar Iqra’, ditemani beliau dengan balutan kasih sayang bak seorang ibu kandung kepada anaknya. Meskipun kami berisik karena rumahnya dijadikan tempat ajang bermain, lari ke sana ke mari, namun dia tetap sabar, dia tetap tabah, konsisten membuka pintunya untuk siapa saja anak yang mau belajar mengaji. Mungkin beliau memang sudah mengerti, masa kanak-kanak adalah bermain.

Di rumah tradisionalnya itu, saya belajar mengaji bersama Almarhumah. Waktu itu, saya tidak pernah berpikir sedikit pun tentang keadaan rumahnya yang hampir 90% terbuat dari bambu, yang ada dalam pikiran hanyalah berangkat ke sana untuk bermain dengan teman lainnya. Jadi, sebenarnya saya bisa mengaji hasil dari niat bermain, hanya Bi Enti yang mempunyai niat tulus untuk mengamalkan ilmunya kepada anak-anak bandel seperti kami. Andaikan almarhumah tidak memiliki niat tulus seperti itu, mungkin saya akan terlambat dalam kelancaran membaca Al-Quran.

Di sela-sela belajar Quran, Bi Enti juga kerap memberikan cerita yang mengandung akan hikmah. Seperti kisahnya ketika beliau kecil saat era “gerombolan”, cerita para Nabi dan banyak lagi. Almarhumah juga sering menyatakan dalam setiap sesi belajar bahwa “Jelema mah boga 1000 alesan keur nolak kana kabeneran (ibadah)”. Ya, pesan itulah yang masih saya ingat sampai detik ini. Manusia mempunyai seribu alasan untuk tidak beribadah kepada Allah.

Sekitar dua sampai tiga tahun saya belajar di rumah bambu itu hingga pada akhirnya Bi Enti memutuskan untuk renovasi total. Menjadikan rumahnya lebih layak untuk dihuni dengan perpaduan batu bata-semen-pasir untuk menciptakan tembok sebagai syarat utama menjadi bangunan yang kokoh. Kala itu saya berpikir, jika rumahnya direnovasi secara total, maka pengajian diliburkan untuk beberapa tempo. Tapi ternyata tidak. Dengan semangatnya memberikan ilmu kepada generasi di bawahnya, almarhumah tetap membuka pintu untuk siapa saja bagi yang ingin belajar. Hanya saja lokasi belajar dipindahkan ke lain tempat.

Terhitung enam tahun saya belajar membaca Al-Quran hingga tahu dasar-dasar ilmu tajwid. Banyak yang saya kagumi terhadap beliau, salah satunya adalah dia tidak pandang bulu terhadap siapa pun yang menjadi muridnya. Entah anak Guru, anak petani, pedagang, anak kiyai atau siapa pun, ketika belacara bersama beliau, semuanya sama, tidak ada yang dispesialkan satu diantara yang lainnya. Lebih dari itu, bagi beliau tidak meminta imbalan atas jasanya, hal ini mengkonfirmasi bahwa almarhumah memang ikhlas lillahi ta’ala menyumbangkan ilmunya, memberikan pengetahuannya.

Sepanjang saya belajar bersama almarhumah, saya berhasil mengkhatamkan Al-Quran sebanyak tiga kali dalam tempo enam tahun. Suatu capaian yang luar biasa besar jika dibandingkan dengan enam tahun terakhir yang tidak satu kali pun khatam. Sangat disayangkan namun memang seperti itulah faktanya. Hal ini membuat saya berpikir bahwa almarhumah mengajarkan konsistensi kepada muridnya agar terus istiqamah dalam beribadah, dalam membaca Al-Quran. Saat ini, saya kembali menghidupkan spirit membaca Al-Quran seperti apa yang sudah dipraktekan bersama beliau.

Jika dihitung sampai akhir hayatnya, mungkin ada sekitar puluhan bahkan ratusan manusia yang pernah belajar membaca Quran di bawah bimbingan beliau. Saya teringat betul ketika pengumuman kepergiannya. Waktu itu sepulang dari sekolah, saya mendengarkan dari balik speaker nggak jelas suatu berita yang mengerikan, berita meninggalnya salah satu manusia yang istiqamah dalam mengamalkan ilmu. Semoga amal ibadah serta jasanya terus mengalir diterima di sisi Allah SWT.

Sayang sekali saya tidak mempunyai foto atau rekaman untuk kembali mengenang sosok beliau, sosok pahlawan. Jadi, hal yang bisa saya berikan hanyalah tulisan ini yang semoga dibaca oleh semua muridnya, murid almarhumah Bi Enti. Sekali lagi semoga ilmu yang telah beliau ajarkan kepada kami menjadi cahaya yang menerangi setiap sisi rumah terakhirnya. Lebih dari itu, semoga pahalanya terus mengalir karena telah menyumbangkan ilmunya. Sekian dan terimakasih. 

No comments